Senin, 30 Maret 2015

Softskill 2015 / semester 8

ETIKA DAN PROFESIONALISME


Nama Kelompok : 
Alifalda Bahagia Dimitri    10111606
Dian Novieta Maharani      12111032
Nur Hamdani                       15111306

Kelas :
4ka05

Tugas :
Etika & Profesionalisme pada TI 

Etika, Profesi dan Profesionalisme Pada bidang
Teknologi Sistem Informasi

Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlaq); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq; nilai mengenai nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. (Suseno, 1987).
Etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan tingkah laku manusia. (Kattsoff, 1986).
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia :
1.      Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2.      Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
  1.     Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
  2.         Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Penerapan ini bisa berwujud, ” Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. “
Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : “ Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis, cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidankann, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.”
Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
a)      Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b)      Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap sesama
2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi
Manfaat Etika
Beberapa manfaat Etika adalah sebagai berikut :
1.      Dapat membantu suatu pendirian dalam beragam pandangan dan moral.
2.       Dapat membantu membedakan mana yang tidak boleh dirubah dan mana yang boleh dirubah.
3.      Dapat membantu seseorang mampu menentukan pendapat.
4.      Dapat menjembatani semua dimensi atau nilai-nilai.
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
·         Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
·         Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Profesi
berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu.
Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Karakteristik Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:
1.      Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
2.      Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya.Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
3.      Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
4.      Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
5.      Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
6.      Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
7.      Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
8.      Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
9.      Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
10.  Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
11.  Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.
Profesionalisme
Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, karangan J.S. Badudu (2003), definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti: bersifat profesi, memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, beroleh bayaran karena keahliannya itu.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme memiliki dua kriteria pokok, yaitu keahlian dan pendapatan (bayaran). Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Artinya seseorang dapat dikatakan memiliki profesionalisme manakala memiliki dua hal pokok tersebut, yaitu keahlian (kompetensi) yang layak sesuai bidang tugasnya dan pendapatan yang layak sesuai kebutuhan hidupnya.
Ciri-ciri Profesionalisme :
a.       Memiliki keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yangbersangkutan dengan bidang tadi.
b.      Memiliki ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan.
c.       Memiliki sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya.
d.      Memiliki sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
Perbedaan Profesi & Profesional
 Profesi :
a.       Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
b.      Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
c.       Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
d.      Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
Profesional :
a.       Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
b.      Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
c.       Hidup dari situ.
d.      Bangga akan pekerjaannya.
Secara umum pekerjaan bidang teknologi informasi terbagi menjadi 4 kelompok :
1.      Kelompok Pertama, yang bergelut dengan software,
yaitu: Sistem analis, programer, web designer, web programmer.
2.      Kelompok kedua, yang bergelut dengan hardware,
yaitu: Technical engineer dan networking engineer.
3.      Kelompok ketiga, yang berkecimpung dalam operasional sistem informasi,
yaitu: EDP operator, System Administrator, MIS Director.
4.      Kelompok Keempat, yang berkecimpung dalam pengembangan bisnis teknologi Informasi.
Contoh profesi-profesi yang berada di bidang Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Instruktur IT
adalah seorang yang memiliki kopetensi dan tanggung jawab proses belajar mengajar atau melatih dibidang Teknologi Informasi. Instruktur IT harus memiliki kombinasi kemampuan menguasai pengetahuan tentang software dan hardware yang menjadi tanggung jawabnya. Instruktur berperan melakukan bimbingan, pendidikan dan pengarahan terhadap anak didik.
System Developer
Merupakan bidang keahlian dibidang pengembangan sistem informasi. System Developer ini mencakupi 3(tiga) bidang keahlian, yaitu :
1.      Programer
2.      System Analyst
3.      Project Manager
Programmer
Seorang pengembang perangkat lunak atau orang yang menulis perangkat lunak komputer. Istilah programmer komputer dapat mengacu pada suatu spesialis area computer programming atau pada suatu generalist kode untuk macam-macam perangkat lunak. Orang praktisi atau berprofesi secara resmi terhadap programming dikenal juga sebagai seorang analis programmer, insinyur perangkat lunak, ilmuwan komputer, atau analis perangkat lunak. Suatu bahasa komputer utama programmer ( Java, C++, dll).
REAL PROGRAMER
Real Programer atau “Hardcore” Programer adalah seorang programer yang menjauhkan diri dari hal yang modern atau tidak menggunakan graphical tools seperti IDE (Integrated Development Environment) dan lebih condong mengarah penggunaan bahasa assembler atau kode mesin, dan semakin dekat dengan perangkat keras. Bahasa pemrograman yang digunakan biasanya seperti :
ü  Java
ü  C / C++
ü  C#
ü  FOLTRAN
Sistem Analist
Seseorang yang memiliki Tugas dan tanggung jawab secara umum sebagai berikut :
a.       Meneliti Kebutuhan manajemen, mengenai penggunaan peralatan pengolahan data yang terintegrasi dan proses.
b.      Investigasi, merencanakan, meralisasikan, menguji dan debugs sistem perangkat lunak.
c.       Merencanakan, mengkoordinir, dan menjadwalkan investigasi, studi kelayakan dan survei, termasuk evaluasi ekonomi dari pengolahan data dan mesin aplikasi otomatis yang ada dan mengusulkan.
d.      Mengambil bagian didalam perencanaan anggaran pembelian perangkat keras dan lunak dan monitoring untuk pemeliharaan perangkat keras dan lunak.
e.       Menyediakan pelatihan dan instruksi ke para pemakai dan karyawan lain dan menyediakan prosedur untuk pekerjaan.
Sistem Analist bertugas melakukan pengumpulan keterangan dari para user serta manajemen dalam rangka memperoleh bahanbahan utama bagi perancangan sistem yang ditugaskan kepadanya. Bahan-bahan tersebut akan digunakan sebagai kriteria ruang lingkup dari sistem yang akan dibuatnya. Semua bahan tadi dikumpulkan dalam fase analisa sistem, sehubungan dengan adanya kebutuhan manajemen akan adanya sistem baru yang lebih memenuhi kebutuhan sistem informasi bagi pengelolaan perusahaan (bisnis) yang bersangkutan. Selanjutnya, berdasarkan bahan-bahan yang diperolehnya tadi, seorang Sistem Analis akan melakukan perancangan sistem baru. Dalam proses perancangan sistem tersebut, maka sejumlah panduan dasar berikut dapat digunakannya sebagai pangkal tolak bekerja (merancang sistem) tersebut.
Project Manager
Seseorang yang mempunyai keseluruhan tanggung jawab untuk pelaksanaan dan perencanaan dan mensukseskan segala proyek. Sebutan Project Manager ini digunakan dalam industri konstruksi, arsitektur dan banyak jabatan berbeda yang didasarkan pada produksi dari suatu produk atau jasa.
Manager proyek harus memiliki suatu kombinasi ketrampilan yang mencakup suatu kemampuan untuk menembus suatu pertanyaan, mendeteksi asumsi, tidak dinyatakan dan tekad konflik hubungan antar pribadi seperti halnya ketrampilan manajemen yang lebih sistematis.
Dalam hal ini, terdapat 2(dua) macam sertifikasi yang berkenaan dengan Profesionalisme Project Manager, yaitu :
1.      Certified Project Manager (CPM)
2.      Project Management Professional (PMP) Certifications.
 Spesialisasi
Didalam dunia IT, memiliki beberapa spesialisasi dalam profesionalisme kerja, diantaranya yaitu:
a)      Spesialisasi Bidang System Operasi dan Networking
i)        System Enginer
ii)      System Administrator
b)      Spesialisasi Bidang Pengembangan Aplikasi dan Database
i)        Application Developer
ii)      Database Administrator
c)      Spesialisasi Audit dan Keamanan Sistem Informasi
i)        Information System Auditor
ii)      Information Security Manager
Mengapa Etika dan Profesionalisme TSI dibutuhkan?
Etika membantu manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu merumuskan pedoman etis yang lebih kuat dan norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat. Etika membantu untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu dilakukan dan yang perlu dipahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Tujuan Etika dalam teknologi informasi: sebagai dasar pijakan atau patokan yang harus ditaati dalam teknologi informasi untuk melakukan proses pengembangan, pemapanan dan juga untuk menyusun instrument.
Sasaran etika digunakan dalam teknologi informasi agar:
ü   mampu memetakan permasalahan yang timbul akibat penggunaan teknologi informasi itu sendiri.
ü   Mampu menginventarisasikan dan mengidentifikasikan etika dalam teknologi informasi.
ü   Mampu menemukan masalah dalam penerapan etika teknologi informasi.
Kapan Etika dan Profesionalisme TSI diterapkan?
Etika dan profesionalisme TSI digunakan/dapat diterapkan ketika seseorang hendak menggunakan teknologi sistem informasi yang ada. Etika dan profesionalisme hendaknya dijalankan setiap waktu pada saat yang tepat. Sebuah pertanggung-jawaban dari suatu etika dan profesionalisme harus nyata.
Siapa yang menerapkan Etika dan Profesionalisme TSI?
Semua elemen seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setiap orang yang hendak menggunakan teknologi sistem informasi tertentu harus mempertimbangkan untuk menggunakan etika dan profesionalisme TSI, sehingga pengguna etika dan profesionalisme TSI ini tentunya adalah semua elemen di dalam suatu lingkungan kerja yang akan menggunakan TSI.guna menghindari isu-isu etika dalam pemanfaatan TI.
Sebagai seorang yang profesional, kita mempunyai tanggung jawab untuk mempromosikan etika penggunaan teknologi informasi di tempat kerja. Hal itu termasuk melaksanakan peran kita dengan baik sebagai suatu sumber daya manusia yang penting di dalam sistem bisnis dalam organisasi.
SUMBER :
https://jhohandewangga.wordpress.com/2012/02/24/pengertian-etika/
http://muaramasad.blogspot.com/2013/03/pengertian-etika-profesi-dan.html
http://riyansport.blogspot.com/2014/01/pengertian-profesi-profesional.html
http://sirendi.blogspot.com/2013/04/etika-profesi-profesionalisme-ciri.html
http://vianpire.blogspot.com/2013/10/etika-dan-profesionalisme-di-bidang-ti.html
https://ballo.wordpress.com/2013/03/15/pengertian-mengapa-kapan-dan-siapa-etika-dan-profesionalisme-tsi-di-terapkan/


Jurnal :

Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor
Terhadap Kualitas Audit.
Pendahuluan
Laporan keuangan menyediakan berbagai informasi keuangan yang bersifat kuantitatif
dan diperlukan sebagai sarana pengambilan keputusan baik oleh pihak internal maupun
pihak eksternal perusahaan. Menurut FASB, ada dua karakteristik terpenting yang harus
ada dalam laporan keuangan yakni relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable).
Kedua karakteristik tersebut sangatlah sulit untuk diukur, sehingga para pemakai
informasi membutuhkan jasa pihak ketiga yaitu auditor independen untuk memberi
jaminan bahwa laporan keuangan tersebut memang relevan dan dapat diandalkan serta
dapat meningkatkan kepercayaan semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan
tersebut (Singgih dan Bawono, 2010). Auditor independen juga sering disebut sebagai
akuntan publik.
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Guna
menunjang profesionalismenya sebagai akuntan publik maka dalam melaksanakan tugas
auditnya, auditor harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Institut
Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan
standar pelaporan. Dimana standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang
harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan
standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal
pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit
serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang
diauditnya secara keseluruhan (Elfarini, 2007).
Namun selain standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik
profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya
baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur
tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan,
perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan
profesinya (Elfarini, 2007).
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit
perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan
perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab
dari manajemen (agen) untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang
dikelolanya. Dalam hal ini manajemen ingin supaya kinerjanya terlihat selalu baik
dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain,
pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya
keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat
adanya suatu kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan
keuangan (Elfarini, 2007).
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa
lainnya yang diberikan oleh akuntan publik inilah yang akhirnya mengharuskan akuntan
publik memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Adapun pertanyaan dari
masyarakat tentang kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik semakin besar
setelah terjadi banyak skandal yang melibatkan akuntan publik. Seperti kasus yang
menimpa akuntan publik Justinus Aditya Sidharta yang diindikasi melakukan kesalahan
dalam mengaudit laporan keuangan PT Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut
muncul setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan
indikasi penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar
rupiah pada laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut
akhirnya kesulitan arus kas dan gagal dalam membayar utang. Sehingga berdasarkan
investigasi tersebut BAPEPAM menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa
laporan keuangan Great River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri
Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin
akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan
pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan
Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River tahun 2003 (Elfarini, 2007).
Sampai saat ini belum ada definisi yang pasti mengenai kualitas audit. Hal ini
disebabkan tidak adanya pemahaman umum mengenai faktor penyusunan kualitas audit
dan sering terjadi konflik peran antara berbagai pengguna laporan audit. Pengukuran
kualitas audit membutuhkan kombinasi antara ukuran hasil dan proses. Pengukuran
hasil lebih banyak digunakan karena pengukuran proses tidak dapat diobservasi secara
langsung sedangkan pengukuran hasil biasanya menggunakan ukuran besarnya Kantor
Akuntan Publik (Yulianti, 2008).
De Angelo (1981) menyatakan kualitas audit merupakan probabilitas bahwa
auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien.
Sedangkan probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan
teknis auditor, dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi
auditor (Deis dan Giroux, 1992 dalam Batubara, 2008). Sementara itu AAA Financial
Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2003:82) menyatakan bahwa kualitas
audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut
berpengaruh langsung terhadap kualitas audit (Elfarini, 2007).
Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004:23)
mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan
ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang
atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan pendapat Trotter, selanjutnya
Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang
yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan
dalam pengalaman audit (Elfarini, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti
(2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman
yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan
yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat
mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem
akuntansi yang mendasari (Elfarini, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dan dari penelitian yang terdahulu dapat
disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan
dan pengalaman (Elfarini, 2007).
Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan
laporan keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki
kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Standar
umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2009) menyebutkan bahwa “dalam semua hal
yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus
dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan
pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan (Elfarini, 2007).
Salah satu faktor lain yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka
waktu dimana auditor memberikan jasa kepada klien (auditor tenure). Selain itu untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan
akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di “audit“ oleh
sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian
kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output
yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Selain itu peer review
dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan
yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko
litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja,
memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang
diberikan (Harjanti, 2002 dalam Elfarini, 2007).
Salah satu model kualitas audit yang dikembangkan adalah model De Angelo
(1981). Dimana fokusnya ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu kompetensi dan
independensi. Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman dan
pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan klien
(audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa
nonaudit (Elfarini, 2007).
Alim dkk (2007) melakukan penelitian tentang Pengaruh Kompetensi dan
Independensi terhadap Kualitas Audit dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi.
Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap
kualitas audit. Sementara itu, interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas audit. Pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor
terhadap kualitas audit dalam penelitian ini tidak dapat diketahui karena dari hasil
pengujian ternyata kedua variabel tersebut keluar dari model (Excluded Variables).
Penelitian ini juga menemukan bukti empiris bahwa independensi berpengaruh
signifikan terhadap kualitas audit. Selanjutnya interaksi independensi dan etika auditor
berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.
Castellani (2008) melakukan penelitian tentang Pengaruh Kompetensi dan
Independensi Auditor pada Kualitas Audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kompetensi dan independensi auditor berpengaruh pada kualitas audit baik secara
parsial maupun simultan.
Indah (2010) melakukan penelitian tentang Pengaruh Kompetensi dan
Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengalaman, pengetahuan auditor, dan tekanan dari rekan auditor berpengaruh positif
terhadap kualitas audit. Sedangkan lama hubungan dengan klien dan tekanan dari klien
berpengaruh negatif terhadap kualitas audit.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Elfarini
(2007) yang berjudul “Pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas
audit (Studi empiris pada KAP di Jawa Tengah)”. Peneliti menggunakan Subjek yang
berbeda yaitu Kantor Akuntan Publik di Jakarta Pusat. Penelitian ini menjadi penting
karena kualitas audit saat ini menjadi sesuatu yang sangat penting karena hasil audit
digunakan oleh banyak pihak dan digunakan untuk mengambil keputusan.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merencanakan mengadakan penelitian
yang berjudul: “Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas
Audit”


Kerangka Teoritis
Kompetensi

Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan bahwa audit
harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis
yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam
SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan
laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat
dan seksama (due professional care).
Auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan
dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan
guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti itu
(Arens dkk., 2008:5). Lee dan Stone (1995) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan
kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk
melakukan audit secara objektif.
Adapun kompetensi menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2002)
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yakni sudut pandang auditor individual, audit
tim dan Kantor Akuntan Publik (KAP). Masing-masing sudut pandang akan dibahas
lebih mendetail berikut ini :
 
a. Kompetensi Auditor Individual
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor, antara lain
pengetahuan dan pengalaman. Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor
memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan
mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Selain itu diperlukan
juga pengalaman dalam melakukan audit. Seperti yang dikemukakan oleh Libby dan
Frederick (1990) bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang
lebih baik atas laporan keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik.
 
b. Kompetensi Audit Tim
Standar pekerjaan lapangan yang kedua menyatakan bahwa jika pekerjaan
menggunakan asisten maka harus disupervisi dengan semestinya. Dalam suatu
penugasan, satu tim audit biasanya terdiri dari auditor yunior, auditor senior,
manajer dan partner. Tim audit ini dipandang sebagai faktor yang lebih menentukan
kualitas audit (Wooten, 2003). Kerjasama yang baik antar anggota tim,
profesionalime, persistensi, skeptisisme, proses kendali mutu yang kuat, pengalaman
dengan klien, dan pengalaman industri yang baik akan menghasilkan tim audit yang
berkualitas tinggi. Selain itu, adanya perhatian dari partner dan manajer pada
penugasan ditemukan memiliki kaitan dengan kualitas audit.
 
c. Kompetensi dari Sudut Pandang KAP
Besaran KAP menurut Deis & Giroux (1992) diukur dari jumlah klien dan
prosentase dari audit fee dalam usaha mempertahankan kliennya untuk tidak
berpindah pada KAP yang lain. Berbagai penelitian (misal De Angelo 1981,
Davidson dan Neu 1993, Dye 1993, Becker et.al. 1998, Lennox 1999) menemukan
hubungan positif antara besaran KAP dan kualitas audit. KAP yang besar
menghasilkan kualitas audit yang lebih tinggi karena ada insentif untuk menjaga
reputasi dipasar. Selain itu, KAP yang besar sudah mempunyai jaringan klien yang
luas dan banyak sehingga mereka tidak tergantung atau tidak takut kehilangan klien
(De Angelo,1981). Selain itu KAP yang besar biasanya mempunyai sumber daya
yang lebih banyak dan lebih baik untuk melatih auditor mereka, membiayai auditor
ke berbagai pendidikan profesi berkelanjutan, dan melakukan pengujian audit
daripada KAP kecil.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kompetensi dapat dilihat melalui
berbagai sudut pandang. Namun dalam penelitian ini akan digunakan kompetensi dari
sudut auditor individual, hal ini dikarenakan auditor adalah subyek yang melakukan
audit secara langsung dan berhubungan langsung dalam proses audit sehingga
diperlukan kompetensi yang baik untuk menghasilkan audit yang berkualitas. Dan
berdasarkan konstruk yang dikemukakan oleh De Angelo (1981), kompetensi
diproksikan dalam dua hal yaitu pengetahuan dan pengalaman.
Pengetahuan

Widhi (2006) dalam Elfarini (2007) menyatakan bahwa pengetahuan memiliki
pengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Adapun SPAP 2001 tentang standar umum,
menjelaskan bahwa dalam melakukan audit, auditor harus memiliki keahlian dan
struktur pengetahuan yang cukup.
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena
dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan)
mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara
lebih mendalam, selain itu auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan
yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).
Harhinto (2004) menemukan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi keahlian
audit yang pada gilirannya akan menentukan kualitas audit. Adapun secara umum ada
5 pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003), yaitu :
(1) Pengetahuan pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan
mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri
khusus, (5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah.
Pengetahuan pengauditan umum seperti risiko audit, prosedur audit, dan lain-lain
kebanyakan diperoleh diperguruan tinggi, sebagian dari pelatihan dan pengalaman.
Untuk area fungsional seperti perpajakan dan pengauditan dengan komputer sebagian
didapatkan dari pendidikan formal perguruan tinggi, sebagian besar dari pelatihan dan
pengalaman. Demikian juga dengan isu akuntansi, auditor bias mendapatkannya dari
pelatihan profesional yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan
mengenai industri khusus dan hal-hal umum kebanyakan diperoleh dari pelatihan dan
pengalaman.
Selanjutnya Ashton (1991) dalam Mayangsari (2003) meneliti auditor dari
berbagai tingkat jenjang yakni dari partner sampai staf dengan 2 pengujian. Pengujian
pertama dilakukan dengan membandingkan antara pengetahuan auditor mengenai
frekuensi dampak kesalahan pada laporan keuangan (error effect) pada 5 industri
dengan frekuensi archival. Pengujian kedua dilakukan dengan membandingkan
pengetahuan auditor dalam menganalisa sebab (error cause) dan akibat kesalahan pada
industri manufaktur dengan frekuensi archival. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perbedaan pengetahuan auditor mempengaruhi error effect pada berbagai tingkat
pengalaman, tidak dapat dijelaskan oleh lama pengalaman dalam mengaudit industri
tertentu dan jumlah klien yang mereka audit. Selain itu pengetahuan auditor yang
mempunyai pengalaman yang sama mengenai sebab dan akibat menunjukkan
perbedaan yang besar. Singkatnya, auditor yang mempunyai tingkatan pengalaman
yang sama, belum tentu pengetahuan yang dimiliki sama pula. Jadi ukuran keahlian
tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain
dalam pembuatan suatu keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki
unsur lain disamping pengalaman, misalnya pengetahuan.
Berdasarkan Murtanto dan Gudono (1999) terdapat 2 (dua) pandangan
mengenai keahlian. Pertama, pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan
pada paradigma einhorn. Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak
kriteria objektif dalam mendefinisikan seorang ahli. Kedua, pandangan kognitif yang
menjelaskan keahlian dari sudut pandang pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman langsung (pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik
terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan).
Pengalaman

Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian tersebut tidak
hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain yang
mempengaruhi antara lain adalah pengalaman. Menurut Tubbs (1992) dalam
Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal:
(1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3) Mencari
penyebab kesalahan.
Murphy dan Wrigth (1984) dalam Sularso dan Naim (1999) memberikan bukti
empiris bahwa seseorang yang berpengalaman dalam suatu bidang subtantif memiliki
lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya. Weber dan Croker (1983) dalam
artikel yang sama juga menunjukkan bahwa semakin banyak pengalaman seseorang,
maka hasil pekerjaannya semakin akurat dan lebih banyak mempunyai memori tentang
struktur kategori yang rumit.
Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003:5) menemukan bahwa
auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga
lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahankesalahan dalam
laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit
dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam
Mayangsari (2003:4).
Sedangkan Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman auditor
berhubungan positif dengan kualitas audit. Dan Widhi (2006) dalam Elfarini (2007)
memperkuat penelitian tersebut dengan sampel yang berbeda yang menghasilkan
temuan bahwa semakin berpengalamannya auditor maka semakin tinggi tingkat
kesuksesan dalam melaksanakan audit.


Independensi

Independensi menurut Arens dkk. (2008:111) dapat diartikan mengambil sudut pandang
yang tidak bias. Auditor tidak hanya harus independen dalam fakta, tetapi juga harus
independen dalam penampilan. Independensi dalam fakta (independence in fact) ada
bila auditor benar-benar mampu mempertahankan sikap yang tidak bias sepanjang
audit, sedangkan independensi dalam penampilan (independent in appearance) adalah
hasil dari interpretasi lain atas independensi ini.
Independensi menurut Mulyadi (2002:26-27) dapat diartikan sikap mental
yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada
orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam
diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
Dalam kenyataannya auditor seringkali menemui kesulitan dalam
mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap
mental independen auditor adalah sebagai berikut (Mulyadi, 2002:27) :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh
kliennya atas jasanya tersebut.
2. Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecenderungan untuk
memuaskan keinginan kliennya.
3. Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya
klien.
Standar umum audit yang kedua menyatakan bahwa “dalam semua hal yang
berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan
oleh auditor”. Standar ini mengharuskan auditor bersikap independen, artinya tidak
mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum
(IAI, 2001:220.1).
Berkaitan dengan hal itu terdapat 4 hal yang mengganggu independensi
akuntan publik, yaitu : (1) Akuntan publik memiliki mutual atau conflicting interest
dengan klien, (2) Mengaudit pekerjaan akuntan publik itu sendiri, (3) Berfungsi sebagai
manajemen atau karyawan dari klien dan (4) Bertindak sebagai penasihat (advocate)
dari klien. Akuntan publik akan terganggu independensinya jika memiliki hubungan
bisnis, keuangan dan manajemen atau karyawan dengan kliennya (Elfarini, 2007).
Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu
dalam negeri maupun luar negeri. Lavin (1976) meneliti 3 faktor yang mempengaruhi
independensi akuntan publik, yaitu : (1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan
klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien, dan (3) Lamanya hubungan
antara akuntan publik dengan klien, Shockley (1981) meneliti 4 faktor yang
mempengaruhi independensi, yaitu (1) Persaingan antar akuntan publik, (2) Pemberian
jasa konsultasi manajemen kepada klien, (3) Ukuran KAP, dan (4) Lamanya hubungan
audit.
Sedangkan Supriyono (1988) meneliti 6 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu:
(1) Ikatan kepentingan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Jasa-jasa
lainnya selain jasa audit, (3) Lamanya hubungan audit antara akuntan publik dengan
klien, (4) Persaingan antar KAP, (5) Ukuran KAP, dan (6) Audit fee.
Elfarini (2007) mengukur independensi diukur melalui lama hubungan dengan klien,
tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor dan pemberian jasa non audit.
Pada penelitian ini peneliti mengukur independensi dengan cara menanyakan
lama hubungan dengan klien, tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor dan
pemberian jasa non audit.
Lama Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure)
Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien sudah diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan
publik. Keputusan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun
untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai
5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien
sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi (Elfarini, 2007).
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang bertentangan
mengenai lamanya hubungan dengan klien. Penelitian yang dilakukan oleh Gosh dan
Moon (2003) dalam Elfarini (2007) menghasilkan temuan bahwa kualitas audit
meningkat dengan semakin lamanya audit tenure. Temuan ini menarik karena ternyata
mendukung pendapat yang menyatakan bahwa pertimbangan audit antara auditor
dengan klien berkurang. Terkait dengan lama waktu masa kerja, Deis dan Giroux
(1992) dalam Elfarini (2007) menemukan bahwa semakin lama audit tenure, kualitas
audit akan semakin menurun. Hubungan yang lama antara auditor dengan klien
mempunyai potensi untuk menjadikan auditor puas pada apa yang telah dilakukan,
melakukan prosedur audit yang kurang tegas dan selalu tergantung pada pernyataan
manajemen.
Adapun penjelasan perbedaan beberapa penelitian hasil penelitian terdahulu
dinyatakan sebagai berikut: “Penugasan audit yang terlalu lama kemungkinan dapat
mendorong akuntan publik kehilangan independensinya karena akuntan publik tersebut
merasa puas, kuarng inovasi, dan kurang ketat dalam melaksanakan prosedur audit.
Sebaliknya penugasan audit yang lama kemungkinan dapat pula meningkatkan
independensi karena akuntan publik sudah familiar, pekerjaan dapat dilaksanakan
dengan efisien dan lebih tahan terhadap tekanan klien“ (Supriyono, 1988:6 dalam
Elfarini, 2007).
Tekanan dari klien

Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan
manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin operasi perusahaan atau kinerjanya
tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk
menciptakan penghargaan. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen
perusahaan melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang
dihasilkan itu sesuai dengan keinginan klien (Media akuntansi, 1997). Pada situasi ini,
auditor mengalami dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka
ia melanggar standar profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat
menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya.
Goldman dan Barlev (1974) dalam Harhinto ( 2004:34) berpendapat bahwa
usaha untuk mempengaruhi auditor melakukan tindakan yang melanggar standar profesi
kemungkinan berhasil karena pada kondisi konflik ada kekuatan yang tidak seimbang
antara auditor dengan kliennya. Klien dapat dengan mudah mengganti auditor KAP jika
auditor tersebut tidak bersedia memenuhi keinginannya. Sementara auditor
membutuhkan fee untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga akan lebih mudah dan
murah bagi klien untuk mengganti auditornya dibandingkan bagi auditor untuk
mendapatkan sumber fee tambahan atau alternatif sumber fee lain.
Kondisi keuangan klien berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor untuk
mengatasi tekanan klien (Knapp, 1985 dalam Harhinto, 2004:44). Klien yang
mempunyai kondisi keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang cukup besar
dan juga dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu probabilitas
terjadinya kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan baik relatif kecil.
Pada situasi ini auditor menjadi puas diri sehingga kurang teliti dalam melakukan audit.
Berdasarkan uraian di atas, maka auditor memiliki posisi yang strategis baik di
mata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Selain itu pemakai
laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan auditor
dalam mengaudit laporan keuangan. Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik
maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada
kode etik, standar profesi dan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
Setiap auditor harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan
tugasnya dengan bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil,
tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan
pribadinya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998 dalam Elfarini, 2007).
Tekanan dari rekan auditor (Peer Review)

Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut
tranparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan Publik.
Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang sesuai dengan
standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan
masyarakat luas akan jasa yang diberikan (Elfarini, 2007).
Peer review adalah review oleh akuntan public (rekan) namun secara praktik
di Indonesia Peer Review dilakukan oleh badan otoritas yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pada tahun-tahun terakhir, yang mereview bukan
lagi BPKP namun Departemen Keuangan yang memberikan ijin praktek dan Badan
Review Mutu dari profesi Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
Tujuan peer review adalah untuk menentukan dan melaporkan apakah KAP
yang direview itu telah mengembangkan kebijakan dan prosedur yang memadai bagi
kelima unsur pengendalian mutu, dan mengikuti kebijakan serta prosedur itu dalam
praktik. Review diadakan setiap 3 tahun, dan biasanya dilakukan oleh KAP yang dipilih
oleh kantor yang direview.
Oleh karena itu pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik
perlu dimonitor dan di “audit“ guna menilai kelayakan desain system pengendalian
kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output
yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai
mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa
akuntansi dan audit. Peer review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor
Akuntan Publik yang direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Manfaat
yang diperoleh dari peer review antara lain mengurangi rrsiko litigation, memberikan
pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan
lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Elfarini, 2007).
Jasa Non Audit

Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa
non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi
seperti jasa penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2002:29). Adanya dua jenis
jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya
dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas audit (Elfarini, 2007).
Pemberian jasa selain jasa audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas
manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian laporan keungan klien ditemukan
kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor
tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik
bagi kliennya. Maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut
(Elfarini, 2007).
Kualitas Audit

Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya harus memegang
prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002:47) dalam Elfarini (2007)
ada 8 prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik yaitu :
1. Tanggung jawab profesi
Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam
semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas
profesionalisme.
3. Integritas
Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan intregitas
setinggi mungkin.
4. Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan
dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati,
kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan ketrampilan profesional.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan
informasi tersebut tanpa persetujuan.
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik
dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan
standar profesional yang relevan.
Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam
hal ini adalah standar auditing.
Sehingga berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses
untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para
pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan
terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang
saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh
auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan
keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu auditor harus menghasilkan audit yang
berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak
manajemen dan pemilik (Elfarini, 2007).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan
auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar
pengendalian mutu. Menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003:25)
mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (probability) dimana auditor akan
menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi klien.
Adapun kemampuan untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan
keuangan perusahaan tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk
melaporkan temuan salah saji tersebut tergantung pada independensinya.
AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002)
menyatakan bahwa “Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian)
dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi
dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor“.
Dari pengertian tentang kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat
mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam
sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana
dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan
kode etik akuntan publik yang relevan.
Sehingga berdasarkan definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut oleh
pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang
kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan dan untuk
menjalankan kewajibannya ada 3 komponen yang harus dimiliki oleh auditor yaitu
kompetensi (keahlian), independensi dan due professional care. Tetapi dalam
menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan
manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak
berhasil, salah satunya tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk
menciptakan penghargaan.
Sedangkan hasil penelitian Behn et. al dalam (Simposium Nasional
Akuntansi V, 2002:563) menunjukkan 6 atribut kualitas audit (dari 12 atribut) yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan klien, yaitu: pengalaman melakukan
audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar
umum, keterlibatan pimpinan KAP, dan keterlibatan komite audit.
Berdasarkan penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit
ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Kompetensi berkaitan
dengan pengetahuan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam
bidang auditing dan akuntansi. Sedangkan independensi merupakan salah satu
komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan
publik tidak mudah dipengaruhi, tidak memihak kepentingan siapapun serta jujur
kepada semua pihak yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan meneliti pengaruh kompetensi
dan independensi terhadap kualitas audit. Dimana kompetensi diproksikan pada 2 (dua)
sub variabel yaitu pengetahuan dan pengalaman, sedangkan independensi diproksikan
dalam 4 (empat) sub variabel yakni lama hubungan dengan klien, tekanan dari klien,
telaah dari rekan audit dan jasa non audit.
Kerangka Pemikiran

Salah satu fungsi dari akuntan publik adalah menghasilkan informasi yang akurat dan
dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Namun adanya konflik kepentingan
antara pihak internal dan eksternal perusahaan, menuntut akuntan publik untuk
menghasilkan laporan auditan yang berkualitas yang dapat digunakan oleh pihak-pihak
tersebut. Selain itu dengan menjamurnya skandal keuangan baik domestik maupun
manca negara, sebagian besar bertolak dari laporan keuangan yang pernah
dipublikasikan oleh perusahaan. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan tentang
bagaimana kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik dalam mengaudit laporan
keuangan klien (Elfarini, 2007).
Berbagai penelitian tentang kualitas audit yang pernah dilakukan menghasilkan
temuan yang berbeda mengenai faktor pembentuk kualitas audit. Namun secara umum
menyimpulkan bahwa untuk menghasilkan audit yang berkualitas, seorang akuntan
publik yang bekerja dalam suatu tim audit dituntut untuk memiliki kompetensi yang
cukup dan independensi yang baik (Elfarini, 2007).
De Angelo (1981) menyatakan kualitas audit merupakan probabilitas bahwa
auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien.
Sedangkan probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan
teknis auditor, dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi
auditor (Deis dan Giroux, 1992 dalam Batubara, 2008).
Salah satu model kualitas audit yang dikembangkan adalah model
De Angelo (1981). Dimana fokusnya ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu
kompetensi dan independensi. Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman
dan pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan
klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa
nonaudit (Elfarini, 2007).
Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang cukup
yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif.
Sedangkan independensi menurut Christiawan (2002) berarti akuntan publik tidak
mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun.
Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan
atas pekerjaan akuntan publik (Elfarini, 2007).
Sumber : Lauw Tjun Tjun
Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
(Jl. Prof. Drg. Suria Sumantri No. 65, Bandung)
Elyzabet Indrawati Marpaung
Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
(Jl. Prof. Drg. Suria Sumantri No. 65, Bandung)
Santy Setiawan
Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
(Jl. Prof. Drg. Suria Sumantri No. 65, Bandung).
1 Mei 2012. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor
Terhadap Kualitas Audit.
file:///C:/Users/Azzure/Downloads/446-1129-1-SM.pdf


  PENGARUH ETIKA PROFESI AUDITOR DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
 1.         Latar Belakang Masalah
Agustian Dionisius Amat (2009) menyatakan bahwa akuntan merupakan profesi yang dalam pelaksanaannya selalu didasarkan pada prinsip-prinsip etika. Sejalan dengan tuntutan perkembangan lingkungan bisnis berbagai perbaikan dan penyempurnaan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) maupun kode etik akuntan Indonesia terus dilakukan.
Hery dan Agustiny Merrina (2007) menyatakan bahwa peranan auditor sangat dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha. Para auditor wajib memahami pelaksanaan etika yang berlaku dalam menjalankan profesinya tersebut. Auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan guna menunjang
profesionalisme.
Fenomena yang terjadi dengan adanya izin usaha KAP dicabut itu karena auditor atau KAP yang bersangkutan belum memenuhi Standar Auditing (SA), Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) atas laporan keuangan klien, dan tidak mampu menyampaikannya laporan tahunan KAP tahun takwin (http://www.ortax.org/ortag/?mod=aturan&page=show&id=761). Dan juga beberapa fenomena kenapa KAP tutup, karena kebanyakan ia telah melanggar kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan untuk dilanggar. Mungkin saja pelanggaran tersebut awalnya mendatangkan keuntungan, tetapi akhirnya dapat menjatuhkan kredibilitas bahkan menghancurkan (http://uwiiii.wordpress.com/ KASUS ENRON dan KAP ARTHUR NDERSON <<Uwiiii’s Blog.htm). Hery dan Agustiny Merrina (2007), juga menyatakan bahwa ada empat elemen penting yang harus dimiliki oleh akuntan yaitu keahlian dan pemahaman tentang standar akuntansi atau standar penyusunan laporan keuangan, standar pemeriksaan/auditing, etika profesi dan pemahaman terhadap lingkungan bisnis yang diaudit. Persyaratan utama yang harus dimiliki oleh auditor adalah wajib memegang teguh aturan etika profesi yang berlaku.
Robert Sack (dalam buku Kieso, Weygandt dan Warfield, (2002 : 212) menyatakan bahwa peraturan etika untuk para akuntan tampaknya kompleks karena mempertahankan independensi dalam dunia bisnis dewasa ini juga kompleks. Dan salah satu bidang yang paling mendapat perhatian adalah persyaratan bahwa auditor tidak boleh mempunyai kepentingan keuangan dalam perusahaan kliennya.
Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto (2008), menjelaskan bahwa seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata-mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.
FASB dalam Statement of Financial Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas yang mambuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu Standart Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.
IAI sebagai organisasi profesi akuntan di Indonesia telah berupaya melakukan penegakan etika profesi yang ditujukan terhadap auditor untuk memberikan kepercayaan kepada klien atas kinerja yang dilakukan. Pada dasarnya seorang auditor dalam membuat keputusan pasti menggunakan lebih dari satu pertimbangan rasional yang didasarkan atas pelaksanaan etika yang berlaku yang dipahaminya dan membuat suatu keputusan yang adil. Oleh karena itu, diperlukan suatu jasa profesional yang independen dan obyektif untuk menilai kewajaran laporan keuangan yang disajikan manajemen. Alasan yang mendasari diperlukannya perilaku profesional pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan profesi, terlepas dari yang dilakukan secara perorangan.
Titik Maryani dan Unti Ludigdo (1999) telah menyatakan bahwa sebagaimana profesi yang lain, profesi akuntan di Indonesia pada masa yang akan datang menghadapi tantangan yang semakin berat. Untuk itu persiapan yang berkaitan dengan profesionalisme profesi mutlak diperlukan. Seseorang akuntan dikatakan profesional apabila memenuhi tiga syarat, yaitu : berkeahlian (skill), berpengetahuan dan berkharakter (Machfoedz 1997 dalam ludigdo & Machfoedz
1999).
Sasongko Budi (2005) mengungkapkan bahwa auditor secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut sangat sering dihadapi oleh auditor. Auditor sering sekali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996; Larkin, 2000; Dilliard dan Yuthas, 2000).
 Dalam penelitian ini, peneliti mengambil subyek auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berada di Surabaya. Dengan mutu penyajian dan pemeriksaan atas kewajaran suatu laporan keuangan ditinjau dari kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang lazim, auditor harus mampu memberikan laporan auditan yang baik dan berkualitas, selain itu juga auditor dituntut untuk dapat menerapkan etika dan profesionalisme dalam menjalankan aktivitasnya. Maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul : “Pengaruh Etika Profesi Auditor dalam Pengambilan Keputusan”.

2.         Perumusan Masalah

Auditor wajib menjaga peran profesi akuntan saat ini dan meningkatkan kepercayaan pihak lain terhadap profesi akuntan dan jasa yang diberikan auditor, hal tersebut merupakan peranan penting dalam kepatuhan terhadap kode etik. Permasalahan yang hendak diteliti adalah : Apakah terdapat pengaruh etika profesi auditor dalam pengambilan kepututusan?

3.         Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah : Untuk meneliti pengaruh etika profesi auditor dalam pengambilan keputusan.

4.         Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan juga bagi wacana pengembangan keilmuan yang menjadi objek dalam penelitian ini. Adapun manfaatnya adalah :
1.    Bagi Auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) 
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi terhadap peningkatan etika profesi auditor dalam pengambilan keputusan untuk menghasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas dan bermanfaat guna meyakinkan klien dan pemakai laporan keuangan akan kualitas audit dan jasa yang telah diberikan. Serta dorongan kuat bagi KAP untuk bertindak secara profesional dalam pengambilan keputusan.
2.    Bagi penulis
 Hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai pengaruh etika profesi auditor dalam pengambilan keputusan.
3.    Bagi penulis selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan referensi bagi penelitian berikutnya yang memilih topik yang sama sebagai bahan penelitian.


5.         Metode Penelitian

a).        Identifikasi Variabel

 Terdapat dua jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel independen (X) yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan Pelaksanaan Etika Profesi yang meliputi sub Variabel diantaranya : Independensi, Integritas, Obyektivitas, Standar Umum,
Prinsip Akuntansi, Tanggung Jawab kepada Klien, Tanggung Jawab kepada
Rekan Seprofesi, Tanggung Jawab dan Praktik Lain. sedangkan variabel dependen
(Y) yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan Pengambilan Keputusan
Auditor dalam Kantor Akuntan Publik (KAP).

b).        Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah auditor pada KAP yang berada di Surabaya. Sampel dalam penelitian ini adalah auditor yang memiliki masa kerja minimal selama 1 tahun atau lebih, memiliki pengalaman dalam mengaudit laporan keuangan dan bekerja di KAP Surabaya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling untuk setiap anggota populasi yang digunakan sebagai sampel.

c).        Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari penyebaran kuesioner kepada responden, yaitu para auditor yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun atau lebih dan memiliki pengalaman dalam mengaudit. Metode pengumpulan data yang dipakai pada penelitian ini adalah metode survei dengan penyebaran kuesioner pada auditor yang bekerja di KAP Surabaya. Adapun teknik
pengumpulan datanya melalui butir-butir pertanyaan yang diajukan secara tertulis dengan responden atau memperoleh informasi berdasarkan sikap, pengetahuan dan pengalaman atau persepsi auditor.

d).        Teknik Analisis

Tahap-tahap pengujiannya dilakukan sebagai berikut :

a.        Melakukan Uji Validitas, Uji Reliabitas, Uji Normalitas
b.        Merumuskan Analisis Regresi Linier Berganda
c.        Melakukan Uji Hipotesis Uji F, Koefisien Determinasi dan Uji t
d.       Penentuan Tingkat Signifikasi
Tingkat signifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05.
e.        Penentuan Penerimaan dan Penolakan :
Kriteria pengambilan kesimpulan yang digunakan adalah :
1.                  Ho ditolak jika     :           Prob < 0,05
2.                  Ho diterima jika  :            Prob ≥ 0,05
f.         Melakukan Interpretasi Data
g.        Melakukan Pembahasan dan Mengambil Keputusan.


6.         Ringkasan Hasil Penelitian


Variabel Penelitian
Signifikansi dengan menggunakan Analisis
Regresi Linier Berganda
Ket.
Independensi
0.654
Tdk Sig.
Integritas
0.407
Tdk Sig.
Objektivitas
0.605
Tdk Sig.
Standar Umum
0.622
Tdk Sig.
Prinsip Akuntansi
0.599
Tdk Sig.
Tanggung Jawab Kepada Klien
0.457
Tdk Sig.
Tanggung Jawab Kepada Rekan Seprofesi
0.490
Tdk Sig.
Tanggung Jawab & Praktek Lain
0.092
Tdk Sig.



7.         Pembahasan

 Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa secara model maupun parsial sub variabel dari etika profesi yang diantaranya (independensi, integritas, objektivitas, standar umum, prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, tanggung jawab & praktek lain) terbukti bahwa secara signifikan tidak ada pengaruh terhadap pengambilan keputusan auditor. Dari semua variabel yang telah di uji berada pada titik penerimaan H0. Hal ini  artinya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap etika profesi auditor dalam pengambilan keputusan. Ini terjadi karena akuntan seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung kepada klien karena fee yang
diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada dalam situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit. Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi atau tekanan di sisi lainnya. Auditor secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi oleh auditor.
Jadi, auditor seringkali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya. (http://brightvisionz.blogspot.com/2010/03/wacanapelajar-auditor-dilema-etika.html).
 Pada penelitian ini peneliti menyebarkan kuesioner ke Kantor Akuntan Publik sebagai responden, namun jawaban yang diperoleh lebih banyak dari auditor yunior dengan masa kerja 1 sampai 2 tahun. Dari hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten, karena bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya yang hasilnya berpengaruh secara signifikan. Hal ini diduga karena dalam menjawab kuesioner lebih banyak dijawab oleh auditor yunior daripada auditor senior, selain itu juga di mungkinkan seorang responden menjawab sesuai dengan kenyataan selama dia mengaudit dan juga karena dalam pengisian kuesioner tidak dipandu secara langsung oleh peneliti sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

1). Pengaruh independensi terhadap pengambilan keputusan auditor.

 Independensi menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Skap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Jika auditor memiliki sikap independensi maka auditor mampu mengungkapkan fakta apa adanya dalam pengambilan keputusan.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan independensi tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa independensi tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pengambilan keputusan auditor. Hal ini diduga independensi merupakan sikap yang belum bisa diterapkan sepenuhnya dalam pengambilan keputusan auditor, dimana auditor yang akan mengungkapkan semua temuannya, namun  auditor hanya mengungkapkan atas apa yang diminta oleh klien, terkait jasa yang diberikan kepada auditor.

2). Pengaruh integritas terhadap pengambilan keputusan auditor.

 Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional serta merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi auditor dalam menguji semua keputusan yang diambilnya dan mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.  Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan integritas tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa integritas tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pengambilan keputusan auditor. Hal ini diduga integritas masih belum bisa untuk diterapkan, mungkin itu terkait dengan pribadi auditor itu sendiri untuk bersikap jujur dan berterus terang atas keputusan apa yang diambil terkait kepentingan manajemen klien.
3). Pengaruh objektivitas terhadap pengambilan keputusan auditor.  

Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan, dimana mengharuskan auditor bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pihak lain.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa
objektivitas tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa objektivitas tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pengambilan keputusan auditor. Hal ini diduga karena auditor dihadapkan pada situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan manajemen kepadanya dan auditor merasa belum belum bebas dari benturan kepentingan atau masih berada dibawah pihak lain.

4). Pengaruh standar umum terhadap pengambilan keputusan.

 Standar umum adalah suatu kepatuhan auditor yang harus mampu
berkompetetensi profesional, cermat dan keseksamaan profesional, perencanaan dan supervisi, serta menghasilkan data yang relevan dan memadai. Dimana anggota hanya boleh memberikan jasa profesionalnya secara layak, memberikan jasa profesional dengan kecermatan dan keseksamaan profesional, merencanakan dan mensupervisi secara memadai setiap pelaksanaan pemberian jasa profesional, serta wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi dasar yang layak bagi simpulan atau rekomendasi sehubungan dengan pelaksanaan jasa profesionalnya.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa standar umum tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa  standar umum mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini diduga auditor atau KAP kurang mematuhi adanya satandar yang dikeluarkan oleh badan pengatur satandar yang ditetapkan IAI, sehingga tidak sesuai dengan isi pernyataan standar umum dalam SPAP.

5). Pengaruh prinsip akuntansi terhadap pengambilan keputusan auditor.  

Prinsip akuntansi ini dimana anggota KAP tidak diperkenankan menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang  berlaku secara umum, serta tidak menemukan perlunya modifikasi material yang harus dilakukan terhadap laporan atau data tersebut agar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa prinsip akuntansi tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa prinsip akuntansi mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini diduga auditor menyesuaikan dengan keadaan laporan keuangan perusahaan dan memenuhi adanya permintaan klien dalam mengungkapkan suatu temuan.. 

6). Pengaruh tanggung jawab kepada klien terhadap pengambilan keputusan.

 Tanggung jawab disini mengharapkan anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang rahasia, tanpa persetujuan dari klien, mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang dapat merusak citra profesi akuntan, serta menetapkan fee kontinjen apabila penetapan tersebut dapat mengurangi independensi.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tanggung jawab kepada klien tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa tanggung jawab kepada klien mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini diduga karena meski seorang auditor atau KAP tidak mengungkapkan informasi rahasia klien tapi dimungkinkan adanya KAP yang masih mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang sebenarnya itu dapat merusak citra profesi atu menetapkan fee kontinjen yang dapat mengurangi independensi.

7). Pengaruh tanggung jawab kepada rekan seprofesi terhadap pengambilan keputusan.

 Dalam hal penugasan audit dari klien yang baru, penting bagi auditor penerus untuk berkomunikasi dengan auditor terdahulu untuk mendapatkan informasi terutama mengenai integritas moral dari manajemen klien yang baru tersebut. Dengan adanya komunikasi tersebut diharapkan auditor penerus dapat melakukan auditnya dengan lebih baik dan tetap menjaga citra profesional akuntan publik secara keseluruhan.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tanggung jawab kepada rekan seprofesi tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa tanggung jawab kepada klien yang cenderung mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini diduga dimungkinkan adanya manajemen klien yang berusaha membeli opini dari auditor, sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik dengan kantor akuntan publik yang melakukan audit atas kliennya.

8). Pengaruh tanggung jawab & praktek lain terhadap pengambilan keputusan

 Dimana anggota tidak diperkenankan melakukan tindakan dan/atau mengucap perkataan yang mencemarkan profesi, mencari klien melalui pemasangan iklan, melakukan promosi pemasaran dan anggota hanya dapat berpraktik dalam bentuk organisasi yang diijinkan oleh peraturan perundangundagan yang berlaku dan/atau yang tidak menyesatkan dan merendahkan citra profesi, memberikan/menerima komisi apabila pemberian/penerimaan komisi tersebut dapat mengurangi independensi.
 Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tanggung jawab kepada rekan seprofesi tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan
Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa tanggung jawab kepada klien yang mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini karena dalam penawaran harga untuk biaya jasa audit merupakan hal yang biasa dan cenderung kompetitif. Seringkali terjadi persaingan harga antara sesama KAP yang pada akhirnya audit tidak dapat dilakukan secara maksimal (mutu audit berkurang), mengingat ketidaksesuaian antara fee audit yang diterima (terlalu kecil) dengan luasnya scope pemeriksaan yang harus dilakukan. Persaingan harga ini diyakini dapat menyesatkan pemberian opini audit apabila mengingat sifat pengumpulan bahan bukti audit yang kurang memadai.
 Jadi secara keseluruhan penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa etika profesi (independensi, integritas, objektivitas, standar umum, prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, tanggung jawab & praktek lain) mempengaruhi pengambilan keputusan auditor. Fakta empiris saat ini menunjukkan bahwa etika profesi (independensi, integritas, objektivitas, standar umum, prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, tanggung jawab & praktek lain) tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan auditor. Ini terjadi karena permasalahan etika profesi  yang kurang didukung oleh penerapan Kode Etik IAI dalam menjalankan profesinya, sehingga apa yang diharapkan tidak menghasilkan sesuatu yang maksimal. Faktor lain yang mungkin menyebabkan faktor ini tidak signifikan adalah lembaga profesi seperti IAI kurang mengakar pada system kebanyakan akuntan publik, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan maupun etika yang ditegakkan menjadi kurang komunikatif dan tidak maksimal untuk diterapkan.
Sumber :
PENGESAHAN RANGKUMAN SKRIPSI

Nama          : Yeni Indra Mayeni. 2011. Pengaruh Etika Profesi Auditor Dalam Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas. Surabaya
PENGARUH KODE ETIK PROFESI AKUNTAN PUBLIK
TERHADAP KUALITAS AUDIT AUDITOR
INDEPENDEN DI SURABAYA
PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian saat ini mengarah pada globalisasi, dengan
kebebasan persaingan usaha di antma negara-negara di dunia. Pengaruh
globalisasi tersebut membawa dampak bagi banyak hal, tidak terkecuali bagi jasa
audit dan profesi auditor independen atau akuntan publik di Indonesia. Adanya
kebutuhan akan laporan keuangan yang memadai dan dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, membawa banyak perusahaan
tergantung pada jasa audit yang ditawarkan oleh auditor independen. Oleh karena
itu, demi menjaga kepercayaan masyarakat, auditor independen selayaknya
memberikanjasa dengan kualitas terbaik.
Kualitas audit diartikan sebagai probabilitas seorang auditor dalam
menentukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien (Deangelo, 2004; dalam Nataline, :W07). Semakin tinggi kualitas audit dapat
dihasilkan oleh auditor independen, maka semakin tinggi pula kepercayaan para
pemakai informasi untuk menggunakan laporan keuangan. Kualitas audit ini
penting karena dengan kualitas audit yang tinggi, maka akan dihasilkan laporan
keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan (Elfarini,
2007). Kualitas audit dipengaruhi sikap auditor independen dalam menerapkan
Kode Etik Profesi Akuntan Publik. Kode Etik ini menetapkan prinsip dasar dan
aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor
akuntan publik (KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan
Akuntan Publik Indonesia (lAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI,
yang memberikan jasa profesional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain
assurance seperti yang tercantum dalam ~;tandar profesi dan kode etik profesi
(lAPI, 2007-2008:3). Dengan adanya Kode Etik Profesi Akuntan Publik,
masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor independen telah
bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.
Kualitas Audit

Adanya kebutuhan akan laporan keuangan yang memadai dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, membawa banyak perusahaan
tergantung pada jasa audit yang ditawarkan oleh auditor independen. Dengan
didorong oleh banyaknya skandal keuangan yang teJjadi di dunia, auditor
independen harus lebih bekeJja keras dalam melaksanakan tugasnya. Demi
menjaga kepercayaan masyarakat, auditor independen selayaknya memberikan
jasa dengan kualitas terbaik.
Kualitas audit diartikan seb2.gai probabilitas seorang auditor dalam
menentukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien (Deangelo, 2004; dalam Nataline, 2007). Nataline (2007) menyimpulkan
bahwa kualitas audit adalah gabungan probabilitas seorang auditor untuk dapat
menemukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien di mana audit ini diproksi berdasarkan reputasi dan banyaknya klien yang
dimiliki KAP. Menurut Elfarini (2007):
"Kualitas audit merupakan kemungkinan (probability) di mana
auditor pada saat mengaudit iaporan keuangan klien dapat
menemukan peianggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien
dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, di mana daiam
melaksanakan tugasnya terse but auditor berpedoman pada standar
auditing dan kode etik akuntan publik yang rei evan."
Terdapat dua belas atribut kualitas audit menurut Behn (2002, dalam Nataline
2007) yaitu:

a.  Pengalaman melakukan audit (client experience)
Pengalaman merupakan atribut yang penting yang harus dimiliki oleh auditor.
Hal ini terbukti dengan tingkat kesalahE,n yang dibuat oleh auditor yang tidak
berpengalaman lebih banyak daripada auditor berpengalaman.
b.  Memahami industri klien (industry expertise)
Auditor juga harus mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhi industri
tempat operasi suatu usaha seperti kondisi ekonomi, peraturan pemerintah
serta perubahan teknologi yang berpengaruh terhadap auditnya.
c.  Responsif atas kebutuhan klien (responsiveness)
Atribut yang membuat klien memutuskan pilihannya terhadap suatu KAP
adalah kesungguhan KAP tersebut memperhatikan kebutuhan kliennya.
d.  Taat pada standar umum (technical competence)
Kredibilitas auditor tergantung kepada kemungkinan auditor mendeteksi
kesalahan yang material dan kesalahan penyajian serta kemungkinan auditor
akan melaporkan apa yang ditemukannya. Kedua hal terse but mencerminkan
terlaksananya stan dar urnum.
e.  Independensi (independence)
Independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk
tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang
bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Bersikap independen
artinya tidak mudah dipengaruhi.
f.  Sikap hati-hati (due care)
Auditor yang bekerja dengan sikap kehati-hatian akan bekerja dengan cermat
dan teliti sehingga menghasilkan audit yang baik, dapat mendeteksi dan
melaporkan kekeliruan serta ketidakben~san.
g.  Komitmen yang kuat terhadap kualitas audit (quality commitment)
IAI sebagai induk organisasi akuntan publik di Indonesia mewajibkan para
anggotanya untuk mengikuti program pendidikan profesi berkelanjutan dan
untuk menjadi anggota baru harus mengikuti program profesi akuntan (PPA)
agar kerja auditnya berkualitas hal ini menunjukkan komitmen yang kuat dari
IAI dan para anggotanya.
h.  Keterlibatan pimpinan KAP
Pemimpin yang baik perlu menjadi .ocal point yang mampu memberikan
perspektif dan visi luas atas kegiatan perbaikan serta mampu memotivasi,
mengakui dan menghargai upaya dan pre stasi perorangan maupun kelompok.
i.  Melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat (field work conduct)
 Dalam perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan sifat, luas, dan
saat pekeIjaan yang harus dilaksanakan dan membuat suatu program audit
secara tertulis, dengan tepat dan matang akan membuat kepuasan bagi klien.
j. Keterlibatan komite audit
Komite audit diperlukan dalam suatu organisasi bisnis dikarenakan
mengawasi proses audit dan memungkinkan terwujudnya kejujuran pelaporan
keuangan.
k. Stan dar etika yang tinggi (Ethical Standard)
Dalam usaha untuk meningkatkan akuntabilitasnya, seorang auditor harus
menegakkan etika profesional yang tinggi agar timbul kepercayaan dari
masyarakat.
l. Tidak mudah percaya
Auditor tidak boleh menganggap nanajemen sebagai orang yang tidak jujur,
tetapi juga tidak boleh menganggap bahwa manajer adalah orang yang tidak
diragukan lagi kejujurannya, adanya sikap tersebut akan memberikan hasil
audit yang bennutu dan akan memberikan kepuasan bagi klien.
Kode Etik Profesi Akuntan Publik

Pada dasarnya setiap individu yang rnelakukan pekeIjaan akan
mendapatkan kepercayaan dari pihak lain agar dapat mendukung kelancaran
pekerjaan yang ia lakukan. Agar kepercayaan tersebut dapat terus terjaga, maka
setiap individu berkewajiban untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan
dengan berbuat dan bertingkah laku sesuai dengan aturan yang ada dan
memperhatikan kepentingan masyarakat yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Dengan kata lain, setiap individu harus memiliki etika dalam menjalankan
profesinya.
Ethics can be defined broadly as a set of moral principles or values (Elder,
Beasley, dan Arens, 2008:76). Hal ini berarti bahwa etika dapat didefinisikan
secara luas sebagai seperangkat prinsip moral atau nilai-nilai. Apabila terdapat
aturan tertulis mengenai prinsip moral atau nilai-nilai tersebut, maka dapat
dikatakan sebagai kode etik. Kode etik yang mengatur profesi auditor independen
di Indonesia dikenal dengan nama Kodl~ Etik Profesi Akuntan Publik. IAPI (2007-
2008:3) menyatakan bahwa:
"Kode etik ini menetapkan primip dasar dan aturan etika profesi
yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan
publik (KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota
Ikatan Akuntan Publik Indonesia (lAPI) maupun yang bukan
merupakan anggota IAPl, yang memberikan jasa profesional yang
meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang
tercantum dalam standar profesi dan kode etik profesi."
Di dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik, terdapat empat prinsip dasar
yang akan dibahas dalam penelitian sekarang yaitu:
a. Prinsip integritas
Menurut lAPI (2007-2008:6) dikatakan bahwa setiap praktisi harus tegas dan
jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam
melaksanakan pekeIjaannya. Setiap anggota harus dapat menjalankan tanggung jawab peketjaan dengan integritas yang tinggi agar kepercayaan
masyarakat dapat terus terjaga. Integritas merupakan kualitas yang melandasi
kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam
menguji keputusan yang diambilnya (Pratama, 2010).
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap
jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa
sehingga laporan yang disajikan itu dapat menjelaskan suatu kebenaran akan
fakta, karena dengan cara itulah maka masyarakat dapat mengakui
profesionalisme seorang akuntan (Wurangian, 2005: 13). Seorang auditor
independen tidak dapat mengambil ktmntungan pribadi di atas kepercayaan
masyarakat. Dalam pelaksanannya, integritas dapat menerima kesalahan yang
tidak disengaja dan perbedaan yang jujur, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan atau peniadaan prinsip.
Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Apabila
auditor independen dihadapkan pada situasi tidak terdapat aturan, standar,
panduan khusus, atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, ia harus
berpikir apakah keputusan atau perbuatannya telah seusai dengan integritasnya
sebagai auditor independen. IAPI (2007-2008) menyatakan bahwa praktisi
tidak boleh terkait dengan laporan, komunikasi, atau informasi lainnya yang
diyakininya terdapat kesalahan yang material atau pemyataan yang
menyesatkan, pemyataan atau informa8i yang diberikan secara tidak hati-hati,
dan penghilangan atau penyembunyian yang dapat menyesatkan atas
informasi yang seharusnya diungkapkan.
b. Prinsip objektivitas
Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota (Pratama, 2010). S'~tiap praktisi tidak boleh membiarkan
subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue
influence) dari pihak-pihak lain mempengaruhi pertimbangan profesional atau
pertimbangan bisnisnya (lAPI, 2007-2008:6). Menurut Wurangian (2005),
seorang akuntan ketika melaksanakan pengauditan harus mampu
menempatkan dirinya sebaik dan sebebas mungkin sehingga mampu melihat
kenyataan secara apa adanya dan mampu menilai secara jujur serta
menyajikan sesuai dengan hasil penilaian terhadap kenyataannya tersebut. Hal
ini berarti bahwa seorang auditor independen dalam menjalankan objektivitas
harus dapat melaporkan kesalahan ya:1g dilakukan oleh klien tanpa adanya
pengaruh dari pihak luar.
IAI mengatur dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia, bahwa
dalam menghadapi situasi dan praktk yang secara spesifik berhubungan
dengan aturan etika sehubungan dengan objektivitas, pertimbangan yang
cukup harus diberikan terhadap faktor-fitktor berikut:
1) Bila auditor independen dihadapkan pada situasi yang memungkinkan
mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya, maka
tekanan ini dapat menggangu objektivitasnya.
2) Kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar
untuk mengidentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat
merusak objektivitas seseorang.
3) Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh
lainnya untuk melanggar objektivitas harus dihindari.
4) Auditor independen memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orangorang
yang terlibat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip
objektivitas.
5) Auditor independen tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau
memberikan entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh
yang tidak pantas terhadap pertinbangan profesional mereka atau terhadap
orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Auditor independen harus
menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka
temoda.
c. Prinsip kompetensi
Kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan
pengalamannya yang cukup dan ~ksplisit dapat melakukan audit secara
objektif, cermat, dan seksama (Elfarini, 2007). Menurut Kamus Kompetensi
LOMA (1998, dalam Alim, Hap sari, dan Purwanti, 2007) kompetensi
didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang
memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini
mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan
di mana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku
akan menghasilkan kinerja. Susanto (2000, dalam Alim, dkk, 2007) definisi
tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakterisitik
yang mendasari individu untuk mencapai kineIja superior. Kompetensi juga
merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan
dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekeIjaanpekeIjaan
non rutin. Setiap praktlsi wajib memelihara pengetahuan dan
keahlian profesionalnya pad a suatl tingkatan yang dipersyaratkan secara
berkesinambungan, sehingga klien Itau pemberi keIja dapat menerima jasa
profesional yang diberikan secara kompeten berdasarkan perkembangan
terkini dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan
pekerjaan (IAPI, 2007-2008:6).
Christiawan (2002) mengatakan bahwa kompetensi berkaitan dengan
pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam
bidang aUditing dan akuntansi. Widhi (2006, dalam Elfarini, 2007)
menyatakan bahwa pengetahuan memiliki pengaruh signifikan terhadap
kualitas audit. Begitupula Harhinto (2004, dalam Elfarini, 2007) menemukan
bahwa pengetahuan akan mempengaruhi keahlian audit yang pada gilirannya
akan menentukan kualitas audit. Adapun menurut Kusharyanti (2003, dalam
Elfarini, 2007), secara umum ada lima pengetahuan yang harus dimiliki oleh
seorang auditor yaitu pengetahuan pengauditan umum, pengetahuan area
fungsional, pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru,
pengetahuan mengenai industri khu:lUS, pengetahuan mengenai bisnis umum
serta penyelesaian masalah. Untuk area fungsional seperti perpajakan dan
pengauditan dengan komputer sebagian didapatkan dari pendidikan formal
perguruan tinggi, sebagian besar dari pelatihan dan pengalaman. Demikian
juga dengan isu akuntansi, auditor bisa mendapatkannya dari pelatihan profesional yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan
mengenai industri khusus dan hal··hal umum kebanyakan diperoleh dari
pelatihan dan pengalaman.
Auditor independen dituntutllltuk memiliki kompetensi yang tinggi,
di mana kompetensi tidak hanya diJengaruhi oleh pengetahuan tetapi juga
pengalaman. Weber dan Croker (1933, dalam Elfarini, 2007) menunjukkan
bahwa semakin banyak pengalama:l seseorang, maka hasil pekeIjaannya
semakin akurat dan lebih banyak mempunyai memori tentang struktur kategori
yang rumit. Auditor dapat memperoleh pengetahuan dan struktur
pengetahuannya melalui pengalaman. Auditor yang bepengalaman akan
memiliki lebih banyak pengetahuan dan struktur memori lebih baik
dibandingkan auditor yang belum berpengalaman. Harhinto (2004, dalam
Elfarini, 2007) menemukan bahwa pengalaman auditor berhubungan positif
dengan kualitas audit. Tubbs (1992, c.alam Elfarini, 2007) menyatakan bahwa
auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal mendeteksi
kesalahan, memahami kesalahan secara akurat, dan mencari penyebab
kesalahan. Seorang auditor yang lebh berpengalaman dapat mendefinisikan
kekeliruan-kekeliruan dengan lebih baik daripada auditor yang kurang
berpengalaman. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk
akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat
mengelompokkan kesalahan berdasarkan pad a tujuan audit dan struktur dari
sistem akuntansi yang mendasari (Mayangsari, 2003:4, dalam Elfarini,
2007:33).
d. Prinsip perilaku profesional
Setiap praktisi wajib mematuhi hukurn dan peraturan yang berlaku dan harus
menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi (IAPI, 2007-
2008:7). Hal tersebut berhubungan dengan prinsip perilaku profesional yang
harus dimiliki auditor independen. P;:ofesionalisme merupakan suatu atribut
individual yang penting tanpa melihat suatu pekeIjaan merupakan suatu
profesi atau tidak (Kalbers dan Fogarty, 1995:72, dalam Wahyudi dan
Mardiyah, 2006:4-5). Sebagai profesional, akuntan publik harus berperilaku
yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi dan mengakui
tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien, dan rekan seprofesi.
IAPI (2007-2008) mengatakan bahwa dalam memasarkan dan
mempromosikan diri dan pekeIjaannya, setiap praktisi harus bersikap jujur
dan tidak boleh bersikap atau melakubn tindakan sebagai berikut :
1) Membuat pemyataan yang berlebihan mengenai jasa profesional yang
dapat diberikan, kualifikasi yang dimiliki, atau pengalaman yang telah
diperoleh; atau
2) Membuat pemyataan yang merendahkan atau melakukan perbandingan
yang tidak didukung bukti terhadap hasil pekerjaan praktisi lain.
Menurut Hall (1968, dalam Fridati, 2005), terdapat lima dimensi
profesionalisme yaitu:
1) Pengabdian pada profesi (dedication)
Pengabdian pada profesi tercermn dalam dedikasi profesional melalui
penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri S1!Cara total terhadap pekerjaan_ Pekerjaan
didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekadar alat untuk mencapai
tujuan_ Penyerahan diri secara total mernpakan komitmen pribadi, dan
sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohaniah dan
kemudian kepuasan material.
2) Kewajiban sosial (social obligation)
Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peran profesi serta
manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh profesional
karena adanya pekerjaan terse but.
3) Kemandirian (autonomy demands)
Kemandirian adalah suatu pandangan bahwa seorang profesional harns
mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak yang lain.
4) Keyakinan terhadap peraturan profesi (beliefin self-regulation)
Mernpakan suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai
pekerjaan profesional adalah reK:an sesama profesi, dan bukan pihak luar
yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan
mereka.
5) Hubungan dengan sesama profesi (professional community affiliation)
Hubungan ini berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk
organisasi formal, dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai
sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional
membangun kesadaran profesinya_
Sumber : Bhinga Primaraharjo & Jesica Handoko. 1 Januari 2011. PENGARUH KODE ETIK PROFESI AKUNTAN PUBLIK TERHADAP KUALITAS AUDIT AUDITOR INDEPENDEN DI SURABAYA JURNAL AKUNTANSI KONTEMPORER. VOL 3 NO.1.
file:///C:/Users/Azzure/Downloads/446-1129-1-SM.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar