ETIKA DAN PROFESIONALISME
Nama Kelompok :
Alifalda Bahagia Dimitri 10111606
Dian Novieta Maharani 12111032
Nur Hamdani 15111306
Kelas :
4ka05
Tugas :
Etika & Profesionalisme pada TI
Teknologi Sistem Informasi
Etika
adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlaq); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlaq; nilai mengenai nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).
Etika
adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. (Suseno, 1987).
Etika
sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran
dalam hubungan tingkah laku manusia. (Kattsoff, 1986).
Ada
dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan
buruknya prilaku manusia :
1. Etika
Deskriptif, yaitu etika yang berusaha
meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang
dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika
deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang
prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. Etika
Normatif, yaitu etika yang berusaha
menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh
manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi
penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan
diputuskan.
Etika
secara umum dapat dibagi menjadi :
- Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
- Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Penerapan
ini bisa berwujud, ” Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam
bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh
cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. “
Namun,
penerapan itu dapat juga berwujud : “ Bagaimana saya menilai perilaku saya dan
orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi
oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis, cara bagaimana manusia
mengambil suatu keputusan atau tidankann, dan teori serta prinsip moral dasar
yang ada dibaliknya.”
Etika
Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
a)
Etika individual, yaitu menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b)
Etika sosial, yaitu berbicara
mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat
manusia.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial
tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia
terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika
sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun
secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa
pandangan-pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat
manusia terhadap lingkungan hidup.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika
sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan
pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :
1.
Sikap terhadap sesama
2.
Etika keluarga
3.
Etika profesi
4.
Etika politik
5.
Etika lingkungan
6.
Etika idiologi
Manfaat Etika
Beberapa
manfaat Etika adalah sebagai berikut :
1.
Dapat membantu suatu pendirian dalam
beragam pandangan dan moral.
2.
Dapat membantu membedakan mana yang tidak
boleh dirubah dan mana yang boleh dirubah.
3.
Dapat membantu seseorang mampu menentukan
pendapat.
4.
Dapat menjembatani semua dimensi
atau nilai-nilai.
Istilah
lain yang identik dengan etika, yaitu:
·
Susila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik
(su).
·
Akhlak (Arab), berarti moral, dan
etika berarti ilmu akhlak.
Profesi
berasal
dari bahasa latin “Proffesio” yang
mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat
dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja”
untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu.
Sedangkan
dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian
tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial
dengan baik.
Karakteristik Profesi
Profesi
adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai
karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar
karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada
profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:
1.
Keterampilan yang berdasar pada
pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis
yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan
tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
2.
Asosiasi profesional: Profesi
biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya.Organisasi profesi
tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
3.
Pendidikan yang ekstensif: Profesi
yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang
pendidikan tinggi.
4.
Ujian kompetensi: Sebelum memasuki
organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang
menguji terutama pengetahuan teoretis.
5.
Pelatihan institutional: Selain
ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional
dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota
penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional
juga dipersyaratkan.
6.
Lisensi: Profesi menetapkan syarat
pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi
bisa dianggap bisa dipercaya.
7.
Otonomi kerja: Profesional cenderung
mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya
intervensi dari luar.
8.
Kode etik: Organisasi profesi
biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan
bagi mereka yang melanggar aturan.
9.
Mengatur diri: Organisasi profesi
harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau
mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
10. Layanan
publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat
dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter
berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
11. Status
dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang
tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut
bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi
masyarakat.
Profesionalisme
Dalam
Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, karangan J.S. Badudu (2003), definisi
profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri
suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional
sendiri berarti: bersifat profesi, memiliki keahlian dan keterampilan karena
pendidikan dan latihan, beroleh bayaran karena keahliannya itu.
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme memiliki dua kriteria
pokok, yaitu keahlian dan pendapatan (bayaran). Kedua hal itu merupakan satu
kesatuan yang saling berhubungan. Artinya seseorang dapat dikatakan memiliki
profesionalisme manakala memiliki dua hal pokok tersebut, yaitu keahlian
(kompetensi) yang layak sesuai bidang tugasnya dan pendapatan yang layak sesuai
kebutuhan hidupnya.
Ciri-ciri Profesionalisme :
a.
Memiliki keterampilan yang tinggi
dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas yangbersangkutan dengan bidang tadi.
b.
Memiliki ilmu dan pengalaman serta
kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi
cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar
kepekaan.
c.
Memiliki sikap berorientasi ke depan
sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang
di hadapannya.
d.
Memiliki sikap mandiri berdasarkan
keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat
orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan
pribadinya.
Perbedaan Profesi & Profesional
Profesi
:
a.
Mengandalkan suatu keterampilan atau
keahlian khusus.
b.
Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan
atau kegiatan utama (purna waktu).
c.
Dilaksanakan sebagai sumber utama
nafkah hidup.
d.
Dilaksanakan dengan keterlibatan
pribadi yang mendalam.
Profesional :
a.
Orang yang tahu akan keahlian dan
keterampilannya.
b.
Meluangkan seluruh waktunya untuk
pekerjaan atau kegiatannya itu.
c.
Hidup dari situ.
d.
Bangga akan pekerjaannya.
Secara
umum pekerjaan bidang teknologi informasi terbagi menjadi 4 kelompok :
1.
Kelompok Pertama, yang bergelut
dengan software,
yaitu: Sistem analis, programer, web
designer, web programmer.
2.
Kelompok kedua, yang bergelut dengan
hardware,
yaitu: Technical engineer dan
networking engineer.
3.
Kelompok ketiga, yang berkecimpung
dalam operasional sistem informasi,
yaitu: EDP operator, System
Administrator, MIS Director.
4.
Kelompok Keempat, yang berkecimpung
dalam pengembangan bisnis teknologi Informasi.
Contoh profesi-profesi yang berada
di bidang Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Instruktur IT
adalah
seorang yang memiliki kopetensi dan tanggung jawab proses belajar mengajar atau
melatih dibidang Teknologi Informasi. Instruktur IT harus memiliki kombinasi
kemampuan menguasai pengetahuan tentang software dan hardware yang menjadi
tanggung jawabnya. Instruktur berperan melakukan bimbingan, pendidikan dan
pengarahan terhadap anak didik.
System Developer
Merupakan
bidang keahlian dibidang pengembangan sistem informasi. System Developer ini
mencakupi 3(tiga) bidang keahlian, yaitu :
1.
Programer
2.
System Analyst
3.
Project Manager
Programmer
Seorang
pengembang perangkat lunak atau orang yang menulis perangkat lunak komputer. Istilah
programmer komputer dapat mengacu pada suatu spesialis area computer
programming atau pada suatu generalist kode untuk macam-macam perangkat lunak.
Orang praktisi atau berprofesi secara resmi terhadap programming dikenal juga
sebagai seorang analis programmer, insinyur perangkat lunak, ilmuwan komputer,
atau analis perangkat lunak. Suatu bahasa komputer utama programmer ( Java,
C++, dll).
REAL PROGRAMER
Real
Programer atau “Hardcore” Programer adalah seorang programer yang menjauhkan
diri dari hal yang modern atau tidak menggunakan graphical tools seperti IDE
(Integrated Development Environment) dan lebih condong mengarah penggunaan
bahasa assembler atau kode mesin, dan semakin dekat dengan perangkat keras. Bahasa
pemrograman yang digunakan biasanya seperti :
ü
Java
ü
C / C++
ü
C#
ü
FOLTRAN
Sistem Analist
Seseorang
yang memiliki Tugas dan tanggung jawab secara umum sebagai berikut :
a.
Meneliti Kebutuhan manajemen,
mengenai penggunaan peralatan pengolahan data yang terintegrasi dan proses.
b.
Investigasi, merencanakan,
meralisasikan, menguji dan debugs sistem perangkat lunak.
c.
Merencanakan, mengkoordinir, dan
menjadwalkan investigasi, studi kelayakan dan survei, termasuk evaluasi ekonomi
dari pengolahan data dan mesin aplikasi otomatis yang ada dan mengusulkan.
d.
Mengambil bagian didalam perencanaan
anggaran pembelian perangkat keras dan lunak dan monitoring untuk pemeliharaan
perangkat keras dan lunak.
e.
Menyediakan pelatihan dan instruksi
ke para pemakai dan karyawan lain dan menyediakan prosedur untuk pekerjaan.
Sistem
Analist bertugas melakukan pengumpulan keterangan dari para user serta
manajemen dalam rangka memperoleh bahanbahan utama bagi perancangan sistem yang
ditugaskan kepadanya. Bahan-bahan tersebut akan digunakan sebagai kriteria
ruang lingkup dari sistem yang akan dibuatnya. Semua bahan tadi dikumpulkan
dalam fase analisa sistem, sehubungan dengan adanya kebutuhan manajemen akan
adanya sistem baru yang lebih memenuhi kebutuhan sistem informasi bagi
pengelolaan perusahaan (bisnis) yang bersangkutan. Selanjutnya, berdasarkan
bahan-bahan yang diperolehnya tadi, seorang Sistem Analis akan melakukan
perancangan sistem baru. Dalam proses perancangan sistem tersebut, maka sejumlah
panduan dasar berikut dapat digunakannya sebagai pangkal tolak bekerja
(merancang sistem) tersebut.
Project Manager
Seseorang
yang mempunyai keseluruhan tanggung jawab untuk pelaksanaan dan perencanaan dan
mensukseskan segala proyek. Sebutan Project Manager ini digunakan dalam
industri konstruksi, arsitektur dan banyak jabatan berbeda yang didasarkan pada
produksi dari suatu produk atau jasa.
Manager
proyek harus memiliki suatu kombinasi ketrampilan yang mencakup suatu kemampuan
untuk menembus suatu pertanyaan, mendeteksi asumsi, tidak dinyatakan dan tekad
konflik hubungan antar pribadi seperti halnya ketrampilan manajemen yang lebih
sistematis.
Dalam
hal ini, terdapat 2(dua) macam sertifikasi yang berkenaan dengan
Profesionalisme Project Manager, yaitu :
1.
Certified Project Manager (CPM)
2.
Project Management Professional
(PMP) Certifications.
Spesialisasi
Didalam
dunia IT, memiliki beberapa spesialisasi dalam profesionalisme kerja,
diantaranya yaitu:
a)
Spesialisasi Bidang System Operasi
dan Networking
i)
System Enginer
ii)
System Administrator
b)
Spesialisasi Bidang Pengembangan
Aplikasi dan Database
i)
Application Developer
ii)
Database Administrator
c)
Spesialisasi Audit dan Keamanan
Sistem Informasi
i)
Information System Auditor
ii)
Information Security Manager
Mengapa Etika dan Profesionalisme
TSI dibutuhkan?
Etika
membantu manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati
masyarakat, etika juga membantu merumuskan pedoman etis yang lebih kuat dan
norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam
tata kehidupan masyarakat. Etika membantu untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu dilakukan dan yang perlu dipahami bersama bahwa etika
ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan, dengan demikian
etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi
kehidupan manusianya.
Tujuan
Etika dalam teknologi informasi: sebagai dasar pijakan atau patokan yang harus
ditaati dalam teknologi informasi untuk melakukan proses pengembangan,
pemapanan dan juga untuk menyusun instrument.
Sasaran
etika digunakan dalam teknologi informasi agar:
ü
mampu memetakan permasalahan yang
timbul akibat penggunaan teknologi informasi itu sendiri.
ü
Mampu menginventarisasikan dan
mengidentifikasikan etika dalam teknologi informasi.
ü
Mampu menemukan masalah dalam
penerapan etika teknologi informasi.
Kapan Etika dan Profesionalisme TSI
diterapkan?
Etika
dan profesionalisme TSI digunakan/dapat diterapkan ketika seseorang hendak
menggunakan teknologi sistem informasi yang ada. Etika dan profesionalisme
hendaknya dijalankan setiap waktu pada saat yang tepat. Sebuah
pertanggung-jawaban dari suatu etika dan profesionalisme harus nyata.
Siapa yang menerapkan Etika dan
Profesionalisme TSI?
Semua
elemen seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setiap orang yang hendak
menggunakan teknologi sistem informasi tertentu harus mempertimbangkan untuk
menggunakan etika dan profesionalisme TSI, sehingga pengguna etika dan
profesionalisme TSI ini tentunya adalah semua elemen di dalam suatu lingkungan
kerja yang akan menggunakan TSI.guna menghindari isu-isu etika dalam
pemanfaatan TI.
Sebagai
seorang yang profesional, kita mempunyai tanggung jawab untuk mempromosikan
etika penggunaan teknologi informasi di tempat kerja. Hal itu termasuk melaksanakan
peran kita dengan baik sebagai suatu sumber daya manusia yang penting di dalam
sistem bisnis dalam organisasi.
SUMBER
:
https://jhohandewangga.wordpress.com/2012/02/24/pengertian-etika/
http://muaramasad.blogspot.com/2013/03/pengertian-etika-profesi-dan.html
http://riyansport.blogspot.com/2014/01/pengertian-profesi-profesional.html
http://sirendi.blogspot.com/2013/04/etika-profesi-profesionalisme-ciri.html
http://vianpire.blogspot.com/2013/10/etika-dan-profesionalisme-di-bidang-ti.html
https://ballo.wordpress.com/2013/03/15/pengertian-mengapa-kapan-dan-siapa-etika-dan-profesionalisme-tsi-di-terapkan/
Jurnal :
Pengaruh Kompetensi dan
Independensi Auditor
Terhadap Kualitas Audit.
Pendahuluan
Laporan keuangan
menyediakan berbagai informasi keuangan yang bersifat kuantitatif
dan diperlukan sebagai
sarana pengambilan keputusan baik oleh pihak internal maupun
pihak eksternal
perusahaan. Menurut FASB, ada dua karakteristik terpenting yang harus
ada dalam laporan
keuangan yakni relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable).
Kedua karakteristik
tersebut sangatlah sulit untuk diukur, sehingga para pemakai
informasi membutuhkan
jasa pihak ketiga yaitu auditor independen untuk memberi
jaminan bahwa laporan
keuangan tersebut memang relevan dan dapat diandalkan serta
dapat meningkatkan
kepercayaan semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan
tersebut (Singgih dan
Bawono, 2010). Auditor independen juga sering disebut sebagai
akuntan publik.
Profesi akuntan publik
merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Guna
menunjang
profesionalismenya sebagai akuntan publik maka dalam melaksanakan tugas
auditnya, auditor harus
berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Institut
Akuntan Publik
Indonesia (IAPI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan
standar pelaporan.
Dimana standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang
harus dimiliki oleh
seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian
dan pelatihan teknis
yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan
standar pekerjaan
lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal
pengumpulan data dan
kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit
serta mewajibkan
auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang
diauditnya secara
keseluruhan (Elfarini, 2007).
Namun selain standar
audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik
profesi yang mengatur
perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya
baik dengan sesama
anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur
tentang tanggung jawab
profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan,
perilaku profesional
serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan
profesinya (Elfarini,
2007).
Akuntan publik atau
auditor independen dalam tugasnya mengaudit
perusahaan klien
memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan
perusahaan klien yakni
ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab
dari manajemen (agen)
untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang
dikelolanya. Dalam hal
ini manajemen ingin supaya kinerjanya terlihat selalu baik
dimata pihak eksternal
perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain,
pemilik (prinsipal)
menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya
keadaan yang ada pada
perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat
adanya suatu
kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan
keuangan (Elfarini,
2007).
Kepercayaan yang besar
dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa
lainnya yang diberikan
oleh akuntan publik inilah yang akhirnya mengharuskan akuntan
publik memperhatikan
kualitas audit yang dihasilkannya. Adapun pertanyaan dari
masyarakat tentang
kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik semakin besar
setelah terjadi banyak
skandal yang melibatkan akuntan publik. Seperti kasus yang
menimpa akuntan publik
Justinus Aditya Sidharta yang diindikasi melakukan kesalahan
dalam mengaudit laporan
keuangan PT Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut
muncul setelah adanya
temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan
indikasi
penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar
rupiah pada laporan
keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut
akhirnya kesulitan arus
kas dan gagal dalam membayar utang. Sehingga berdasarkan
investigasi tersebut
BAPEPAM menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa
laporan keuangan Great
River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri
Keuangan RI terhitung
sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin
akuntan publik Justinus
Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan
pelanggaran terhadap
Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan
Audit atas Laporan
Keuangan Konsolidasi PT Great River tahun 2003 (Elfarini, 2007).
Sampai saat ini belum
ada definisi yang pasti mengenai kualitas audit. Hal ini
disebabkan tidak adanya
pemahaman umum mengenai faktor penyusunan kualitas audit
dan sering terjadi
konflik peran antara berbagai pengguna laporan audit. Pengukuran
kualitas audit
membutuhkan kombinasi antara ukuran hasil dan proses. Pengukuran
hasil lebih banyak
digunakan karena pengukuran proses tidak dapat diobservasi secara
langsung sedangkan
pengukuran hasil biasanya menggunakan ukuran besarnya Kantor
Akuntan Publik
(Yulianti, 2008).
De Angelo (1981)
menyatakan kualitas audit merupakan probabilitas bahwa
auditor akan menemukan
dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien.
Sedangkan probabilitas
untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan
teknis auditor, dan
probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi
auditor (Deis dan
Giroux, 1992 dalam Batubara, 2008). Sementara itu AAA Financial
Accounting Commite
(2000) dalam Christiawan (2003:82) menyatakan bahwa kualitas
audit ditentukan oleh 2
hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut
berpengaruh langsung
terhadap kualitas audit (Elfarini, 2007).
Berkenaan dengan hal
tersebut, Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004:23)
mendefinisikan bahwa
seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan
ketrampilannya
mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang
atau tidak pernah
membuat kesalahan. Senada dengan pendapat Trotter, selanjutnya
Bedard (1986) dalam Sri
Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang
yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan
dalam pengalaman audit
(Elfarini, 2007).
Penelitian yang
dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti
(2003:26) menemukan
bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman
yang lebih baik atas
laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan
yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan
dalam laporan keuangan dan dapat
mengelompokkan
kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem
akuntansi yang
mendasari (Elfarini, 2007).
Berdasarkan uraian di
atas dan dari penelitian yang terdahulu dapat
disimpulkan bahwa
kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan
dan pengalaman
(Elfarini, 2007).
Namun sesuai dengan
tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan
laporan keuangan suatu
perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki
kompetensi atau
keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Standar
umum kedua (SA seksi
220 dalam SPAP, 2009) menyebutkan bahwa “dalam semua hal
yang berhubungan dengan
perikatan, independensi dalam sikap mental harus
dipertahankan oleh auditor”.
Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah
dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum.
Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak
hanya kepada manajemen
dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan
pihak lain yang
meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan (Elfarini, 2007).
Salah satu faktor lain
yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka
waktu dimana auditor
memberikan jasa kepada klien (auditor tenure). Selain itu untuk
meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan
akuntan dan operasi
Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di “audit“ oleh
sesama auditor (peer
review) guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian
kualitas dan
kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output
yang dihasilkan dapat
mencapai standar kualitas yang tinggi. Selain itu peer review
dirasakan memberi
manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan
yang terlibat dalam
peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko
litigation (tuntutan),
memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja,
memberikan competitive
edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang
diberikan (Harjanti,
2002 dalam Elfarini, 2007).
Salah satu model
kualitas audit yang dikembangkan adalah model De Angelo
(1981). Dimana fokusnya
ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu kompetensi dan
independensi.
Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman dan
pengetahuan. Sedangkan
independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan klien
(audit tenure), tekanan
dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa
nonaudit (Elfarini,
2007).
Alim dkk (2007)
melakukan penelitian tentang Pengaruh Kompetensi dan
Independensi terhadap
Kualitas Audit dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi.
Penelitian ini berhasil
membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap
kualitas audit.
Sementara itu, interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh
signifikan terhadap
kualitas audit. Pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor
terhadap kualitas audit
dalam penelitian ini tidak dapat diketahui karena dari hasil
pengujian ternyata
kedua variabel tersebut keluar dari model (Excluded Variables).
Penelitian ini juga
menemukan bukti empiris bahwa independensi berpengaruh
signifikan terhadap
kualitas audit. Selanjutnya interaksi independensi dan etika auditor
berpengaruh signifikan
terhadap kualitas audit.
Castellani (2008)
melakukan penelitian tentang Pengaruh Kompetensi dan
Independensi Auditor
pada Kualitas Audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kompetensi dan
independensi auditor berpengaruh pada kualitas audit baik secara
parsial maupun
simultan.
Indah (2010) melakukan
penelitian tentang Pengaruh Kompetensi dan
Independensi Auditor
Terhadap Kualitas Audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengalaman, pengetahuan
auditor, dan tekanan dari rekan auditor berpengaruh positif
terhadap kualitas
audit. Sedangkan lama hubungan dengan klien dan tekanan dari klien
berpengaruh negatif
terhadap kualitas audit.
Penelitian ini
merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Elfarini
(2007) yang berjudul
“Pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas
audit (Studi empiris
pada KAP di Jawa Tengah)”. Peneliti menggunakan Subjek yang
berbeda yaitu Kantor
Akuntan Publik di Jakarta Pusat. Penelitian ini menjadi penting
karena kualitas audit
saat ini menjadi sesuatu yang sangat penting karena hasil audit
digunakan oleh banyak
pihak dan digunakan untuk mengambil keputusan.
Berdasarkan uraian
diatas, maka peneliti merencanakan mengadakan penelitian
yang berjudul:
“Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas
Audit”
Kerangka
Teoritis
Kompetensi
Standar umum pertama
(SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan bahwa audit
harus dilaksanakan oleh
seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis
yang cukup sebagai
auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam
SPAP, 2001) menyebutkan
bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan
laporannya, auditor
wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat
dan seksama (due
professional care).
Auditor harus memiliki
kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan
dan harus kompeten
untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan
guna mencapai
kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti itu
(Arens dkk., 2008:5).
Lee dan Stone (1995) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan
kompetensi sebagai
keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk
melakukan audit secara
objektif.
Adapun kompetensi
menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2002)
dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang yakni sudut pandang auditor individual, audit
tim dan Kantor Akuntan
Publik (KAP). Masing-masing sudut pandang akan dibahas
lebih mendetail berikut
ini :
a.
Kompetensi Auditor Individual
Ada banyak faktor yang
mempengaruhi kemampuan auditor, antara lain
pengetahuan dan
pengalaman. Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor
memerlukan pengetahuan
pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan
mengenai bidang
pengauditan, akuntansi dan industri klien. Selain itu diperlukan
juga pengalaman dalam
melakukan audit. Seperti yang dikemukakan oleh Libby dan
Frederick (1990) bahwa
auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang
lebih baik atas laporan
keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik.
b.
Kompetensi Audit Tim
Standar pekerjaan
lapangan yang kedua menyatakan bahwa jika pekerjaan
menggunakan asisten
maka harus disupervisi dengan semestinya. Dalam suatu
penugasan, satu tim
audit biasanya terdiri dari auditor yunior, auditor senior,
manajer dan partner.
Tim audit ini dipandang sebagai faktor yang lebih menentukan
kualitas audit (Wooten,
2003). Kerjasama yang baik antar anggota tim,
profesionalime,
persistensi, skeptisisme, proses kendali mutu yang kuat, pengalaman
dengan klien, dan
pengalaman industri yang baik akan menghasilkan tim audit yang
berkualitas tinggi.
Selain itu, adanya perhatian dari partner dan manajer pada
penugasan ditemukan
memiliki kaitan dengan kualitas audit.
c.
Kompetensi dari Sudut Pandang KAP
Besaran KAP menurut
Deis & Giroux (1992) diukur dari jumlah klien dan
prosentase dari audit
fee dalam usaha mempertahankan kliennya untuk tidak
berpindah pada KAP yang
lain. Berbagai penelitian (misal De Angelo 1981,
Davidson dan Neu 1993,
Dye 1993, Becker et.al. 1998, Lennox 1999) menemukan
hubungan positif antara
besaran KAP dan kualitas audit. KAP yang besar
menghasilkan kualitas
audit yang lebih tinggi karena ada insentif untuk menjaga
reputasi dipasar.
Selain itu, KAP yang besar sudah mempunyai jaringan klien yang
luas dan banyak
sehingga mereka tidak tergantung atau tidak takut kehilangan klien
(De Angelo,1981).
Selain itu KAP yang besar biasanya mempunyai sumber daya
yang lebih banyak dan
lebih baik untuk melatih auditor mereka, membiayai auditor
ke berbagai pendidikan
profesi berkelanjutan, dan melakukan pengujian audit
daripada KAP kecil.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka kompetensi dapat dilihat melalui
berbagai sudut pandang.
Namun dalam penelitian ini akan digunakan kompetensi dari
sudut auditor
individual, hal ini dikarenakan auditor adalah subyek yang melakukan
audit secara langsung
dan berhubungan langsung dalam proses audit sehingga
diperlukan kompetensi
yang baik untuk menghasilkan audit yang berkualitas. Dan
berdasarkan konstruk
yang dikemukakan oleh De Angelo (1981), kompetensi
diproksikan dalam dua
hal yaitu pengetahuan dan pengalaman.
Pengetahuan
Widhi (2006) dalam
Elfarini (2007) menyatakan bahwa pengetahuan memiliki
pengaruh signifikan
terhadap kualitas audit. Adapun SPAP 2001 tentang standar umum,
menjelaskan bahwa dalam
melakukan audit, auditor harus memiliki keahlian dan
struktur pengetahuan
yang cukup.
Pengetahuan diukur dari
seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena
dengan demikian auditor
akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan)
mengenai bidang yang
digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara
lebih mendalam, selain
itu auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan
yang semakin kompleks
(Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).
Harhinto (2004)
menemukan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi keahlian
audit yang pada
gilirannya akan menentukan kualitas audit. Adapun secara umum ada
5 pengetahuan yang
harus dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003), yaitu :
(1) Pengetahuan
pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan
mengenai isu-isu
akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri
khusus, (5) Pengetahuan
mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah.
Pengetahuan pengauditan
umum seperti risiko audit, prosedur audit, dan lain-lain
kebanyakan diperoleh
diperguruan tinggi, sebagian dari pelatihan dan pengalaman.
Untuk area fungsional
seperti perpajakan dan pengauditan dengan komputer sebagian
didapatkan dari
pendidikan formal perguruan tinggi, sebagian besar dari pelatihan dan
pengalaman. Demikian
juga dengan isu akuntansi, auditor bias mendapatkannya dari
pelatihan profesional
yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan
mengenai industri
khusus dan hal-hal umum kebanyakan diperoleh dari pelatihan dan
pengalaman.
Selanjutnya Ashton
(1991) dalam Mayangsari (2003) meneliti auditor dari
berbagai tingkat
jenjang yakni dari partner sampai staf dengan 2 pengujian. Pengujian
pertama dilakukan
dengan membandingkan antara pengetahuan auditor mengenai
frekuensi dampak
kesalahan pada laporan keuangan (error effect) pada 5 industri
dengan frekuensi
archival. Pengujian kedua dilakukan dengan membandingkan
pengetahuan auditor
dalam menganalisa sebab (error cause) dan akibat kesalahan pada
industri manufaktur
dengan frekuensi archival. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perbedaan pengetahuan
auditor mempengaruhi error effect pada berbagai tingkat
pengalaman, tidak dapat
dijelaskan oleh lama pengalaman dalam mengaudit industri
tertentu dan jumlah
klien yang mereka audit. Selain itu pengetahuan auditor yang
mempunyai pengalaman
yang sama mengenai sebab dan akibat menunjukkan
perbedaan yang besar.
Singkatnya, auditor yang mempunyai tingkatan pengalaman
yang sama, belum tentu
pengetahuan yang dimiliki sama pula. Jadi ukuran keahlian
tidak cukup hanya
pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain
dalam pembuatan suatu
keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki
unsur lain disamping
pengalaman, misalnya pengetahuan.
Berdasarkan Murtanto
dan Gudono (1999) terdapat 2 (dua) pandangan
mengenai keahlian.
Pertama, pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan
pada paradigma einhorn.
Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak
kriteria objektif dalam
mendefinisikan seorang ahli. Kedua, pandangan kognitif yang
menjelaskan keahlian
dari sudut pandang pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman langsung
(pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik
terhadap kinerja) dan
pengalaman tidak langsung (pendidikan).
Pengalaman
Audit menuntut keahlian
dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian tersebut tidak
hanya dipengaruhi oleh
pendidikan formal tetapi banyak faktor lain yang
mempengaruhi antara
lain adalah pengalaman. Menurut Tubbs (1992) dalam
Mayangsari (2003)
auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal:
(1) Mendeteksi
kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3) Mencari
penyebab kesalahan.
Murphy dan Wrigth
(1984) dalam Sularso dan Naim (1999) memberikan bukti
empiris bahwa seseorang
yang berpengalaman dalam suatu bidang subtantif memiliki
lebih banyak hal yang
tersimpan dalam ingatannya. Weber dan Croker (1983) dalam
artikel yang sama juga
menunjukkan bahwa semakin banyak pengalaman seseorang,
maka hasil pekerjaannya
semakin akurat dan lebih banyak mempunyai memori tentang
struktur kategori yang
rumit.
Libby dan Frederick
(1990) dalam Kusharyanti (2003:5) menemukan bahwa
auditor yang
berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga
lebih mampu memberi
penjelasan yang masuk akal atas kesalahankesalahan dalam
laporan keuangan dan
dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit
dan struktur dari
sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam
Mayangsari (2003:4).
Sedangkan Harhinto
(2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman auditor
berhubungan positif
dengan kualitas audit. Dan Widhi (2006) dalam Elfarini (2007)
memperkuat penelitian
tersebut dengan sampel yang berbeda yang menghasilkan
temuan bahwa semakin
berpengalamannya auditor maka semakin tinggi tingkat
kesuksesan dalam
melaksanakan audit.
Independensi
Independensi menurut
Arens dkk. (2008:111) dapat diartikan mengambil sudut pandang
yang tidak bias.
Auditor tidak hanya harus independen dalam fakta, tetapi juga harus
independen dalam
penampilan. Independensi dalam fakta (independence in fact) ada
bila auditor
benar-benar mampu mempertahankan sikap yang tidak bias sepanjang
audit, sedangkan
independensi dalam penampilan (independent in appearance) adalah
hasil dari interpretasi
lain atas independensi ini.
Independensi menurut
Mulyadi (2002:26-27) dapat diartikan sikap mental
yang bebas dari
pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada
orang lain.
Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta
dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam
diri auditor dalam
merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
Dalam kenyataannya
auditor seringkali menemui kesulitan dalam
mempertahankan sikap
mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap
mental independen
auditor adalah sebagai berikut (Mulyadi, 2002:27) :
1. Sebagai seorang yang
melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh
kliennya atas jasanya
tersebut.
2. Sebagai penjual jasa
seringkali auditor mempunyai kecenderungan untuk
memuaskan keinginan
kliennya.
3. Mempertahankan sikap
mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya
klien.
Standar umum audit yang
kedua menyatakan bahwa “dalam semua hal yang
berhubungan dengan
perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan
oleh auditor”. Standar
ini mengharuskan auditor bersikap independen, artinya tidak
mudah dipengaruhi,
karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum
(IAI, 2001:220.1).
Berkaitan dengan hal
itu terdapat 4 hal yang mengganggu independensi
akuntan publik, yaitu :
(1) Akuntan publik memiliki mutual atau conflicting interest
dengan klien, (2)
Mengaudit pekerjaan akuntan publik itu sendiri, (3) Berfungsi sebagai
manajemen atau karyawan
dari klien dan (4) Bertindak sebagai penasihat (advocate)
dari klien. Akuntan
publik akan terganggu independensinya jika memiliki hubungan
bisnis, keuangan dan
manajemen atau karyawan dengan kliennya (Elfarini, 2007).
Penelitian mengenai
independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu
dalam negeri maupun
luar negeri. Lavin (1976) meneliti 3 faktor yang mempengaruhi
independensi akuntan
publik, yaitu : (1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan
klien, (2) Pemberian
jasa lain selain jasa audit kepada klien, dan (3) Lamanya hubungan
antara akuntan publik
dengan klien, Shockley (1981) meneliti 4 faktor yang
mempengaruhi
independensi, yaitu (1) Persaingan antar akuntan publik, (2) Pemberian
jasa konsultasi
manajemen kepada klien, (3) Ukuran KAP, dan (4) Lamanya hubungan
audit.
Sedangkan Supriyono
(1988) meneliti 6 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu:
(1) Ikatan kepentingan
keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Jasa-jasa
lainnya selain jasa
audit, (3) Lamanya hubungan audit antara akuntan publik dengan
klien, (4) Persaingan
antar KAP, (5) Ukuran KAP, dan (6) Audit fee.
Elfarini (2007)
mengukur independensi diukur melalui lama hubungan dengan klien,
tekanan dari klien,
telaah dari rekan auditor dan pemberian jasa non audit.
Pada penelitian ini
peneliti mengukur independensi dengan cara menanyakan
lama hubungan dengan
klien, tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor dan
pemberian jasa non
audit.
Lama
Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure)
Di Indonesia, masalah
audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien sudah diatur
dalam Keputusan Menteri
Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan
publik. Keputusan
menteri tersebut membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun
untuk klien yang sama,
sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai
5 tahun. Pembatasan ini
dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien
sehingga dapat mencegah
terjadinya skandal akuntansi (Elfarini, 2007).
Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan hasil yang bertentangan
mengenai lamanya
hubungan dengan klien. Penelitian yang dilakukan oleh Gosh dan
Moon (2003) dalam
Elfarini (2007) menghasilkan temuan bahwa kualitas audit
meningkat dengan
semakin lamanya audit tenure. Temuan ini menarik karena ternyata
mendukung pendapat yang
menyatakan bahwa pertimbangan audit antara auditor
dengan klien berkurang.
Terkait dengan lama waktu masa kerja, Deis dan Giroux
(1992) dalam Elfarini
(2007) menemukan bahwa semakin lama audit tenure, kualitas
audit akan semakin
menurun. Hubungan yang lama antara auditor dengan klien
mempunyai potensi untuk
menjadikan auditor puas pada apa yang telah dilakukan,
melakukan prosedur
audit yang kurang tegas dan selalu tergantung pada pernyataan
manajemen.
Adapun penjelasan
perbedaan beberapa penelitian hasil penelitian terdahulu
dinyatakan sebagai
berikut: “Penugasan audit yang terlalu lama kemungkinan dapat
mendorong akuntan
publik kehilangan independensinya karena akuntan publik tersebut
merasa puas, kuarng
inovasi, dan kurang ketat dalam melaksanakan prosedur audit.
Sebaliknya penugasan
audit yang lama kemungkinan dapat pula meningkatkan
independensi karena
akuntan publik sudah familiar, pekerjaan dapat dilaksanakan
dengan efisien dan
lebih tahan terhadap tekanan klien“ (Supriyono, 1988:6 dalam
Elfarini, 2007).
Tekanan
dari klien
Dalam menjalankan
fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan
manajemen perusahaan.
Manajemen mungkin ingin operasi perusahaan atau kinerjanya
tampak berhasil yakni
tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk
menciptakan penghargaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen
perusahaan melakukan
tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang
dihasilkan itu sesuai
dengan keinginan klien (Media akuntansi, 1997). Pada situasi ini,
auditor mengalami
dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka
ia melanggar standar
profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat
menghentikan penugasan
atau mengganti KAP auditornya.
Goldman dan Barlev
(1974) dalam Harhinto ( 2004:34) berpendapat bahwa
usaha untuk
mempengaruhi auditor melakukan tindakan yang melanggar standar profesi
kemungkinan berhasil
karena pada kondisi konflik ada kekuatan yang tidak seimbang
antara auditor dengan
kliennya. Klien dapat dengan mudah mengganti auditor KAP jika
auditor tersebut tidak
bersedia memenuhi keinginannya. Sementara auditor
membutuhkan fee untuk
memenuhi kebutuhannya. Sehingga akan lebih mudah dan
murah bagi klien untuk
mengganti auditornya dibandingkan bagi auditor untuk
mendapatkan sumber fee
tambahan atau alternatif sumber fee lain.
Kondisi keuangan klien
berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor untuk
mengatasi tekanan klien
(Knapp, 1985 dalam Harhinto, 2004:44). Klien yang
mempunyai kondisi
keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang cukup besar
dan juga dapat
memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu probabilitas
terjadinya kebangkrutan
klien yang mempunyai kondisi keuangan baik relatif kecil.
Pada situasi ini auditor
menjadi puas diri sehingga kurang teliti dalam melakukan audit.
Berdasarkan uraian di
atas, maka auditor memiliki posisi yang strategis baik di
mata manajemen maupun
dimata pemakai laporan keuangan. Selain itu pemakai
laporan keuangan
menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan auditor
dalam mengaudit laporan
keuangan. Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik
maka auditor dalam
menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada
kode etik, standar
profesi dan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
Setiap auditor harus
mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan
tugasnya dengan
bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil,
tanpa dipengaruhi
tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan
pribadinya (Khomsiyah
dan Indriantoro, 1998 dalam Elfarini, 2007).
Tekanan
dari rekan auditor (Peer Review)
Tuntutan pada profesi
akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut
tranparansi informasi
mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan Publik.
Kejelasan informasi
tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang sesuai dengan
standar profesi
merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan
masyarakat luas akan
jasa yang diberikan (Elfarini, 2007).
Peer review adalah
review oleh akuntan public (rekan) namun secara praktik
di Indonesia Peer
Review dilakukan oleh badan otoritas yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). Pada tahun-tahun terakhir, yang mereview bukan
lagi BPKP namun
Departemen Keuangan yang memberikan ijin praktek dan Badan
Review Mutu dari
profesi Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
Tujuan peer review
adalah untuk menentukan dan melaporkan apakah KAP
yang direview itu telah
mengembangkan kebijakan dan prosedur yang memadai bagi
kelima unsur
pengendalian mutu, dan mengikuti kebijakan serta prosedur itu dalam
praktik. Review
diadakan setiap 3 tahun, dan biasanya dilakukan oleh KAP yang dipilih
oleh kantor yang
direview.
Oleh karena itu
pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik
perlu dimonitor dan di
“audit“ guna menilai kelayakan desain system pengendalian
kualitas dan
kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output
yang dihasilkan dapat
mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai
mekanisme monitoring
dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa
akuntansi dan audit.
Peer review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor
Akuntan Publik yang
direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Manfaat
yang diperoleh dari
peer review antara lain mengurangi rrsiko litigation, memberikan
pengalaman positif,
mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan
lebih meyakinkan klien
atas kualitas jasa yang diberikan (Elfarini, 2007).
Jasa
Non Audit
Jasa yang diberikan
oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa
non atestasi yang
berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi
seperti jasa penyusunan
laporan keuangan (Kusharyanti, 2002:29). Adanya dua jenis
jasa yang diberikan
oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya
dipertanyakan yang
nantinya akan mempengaruhi kualitas audit (Elfarini, 2007).
Pemberian jasa selain
jasa audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas
manajemen klien. Jika
pada saat dilakukan pengujian laporan keungan klien ditemukan
kesalahan yang terkait
dengan jasa yang diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor
tidak mau reputasinya
buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik
bagi kliennya. Maka hal
ini dapat mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut
(Elfarini, 2007).
Kualitas
Audit
Akuntan publik atau
auditor independen dalam menjalankan tugasnya harus memegang
prinsip-prinsip
profesi. Menurut Simamora (2002:47) dalam Elfarini (2007)
ada 8 prinsip yang
harus dipatuhi akuntan publik yaitu :
1.
Tanggung jawab profesi
Setiap anggota harus
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam
semua kegiatan yang
dilakukannya.
2.
Kepentingan publik
Setiap anggota
berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik,
menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas
profesionalisme.
3.
Integritas
Setiap anggota harus
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan intregitas
setinggi mungkin.
4.
Objektivitas
Setiap anggota harus
menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan
dalam pemenuhan
kewajiban profesionalnya.
5.
Kompetensi dan kehati-hatian profesional
Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati,
kompetensi dan
ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan ketrampilan
profesional.
6.
Kerahasiaan
Setiap anggota harus
menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
melakukan jasa
profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan
informasi tersebut
tanpa persetujuan.
7.
Perilaku Profesional
Setiap anggota harus
berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik
dan menjauhi tindakan
yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.
Standar Teknis
Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan
standar profesional
yang relevan.
Selain itu akuntan
publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP)
yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam
hal ini adalah standar
auditing.
Sehingga berdasarkan
uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses
untuk mengurangi
ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para
pemegang saham dengan
menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan
terhadap laporan keuangan.
Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang
saham akan mengambil
keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh
auditor. Hal ini
berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan
keuangan suatu
perusahaan. Oleh karena itu auditor harus menghasilkan audit yang
berkualitas sehingga
dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak
manajemen dan pemilik
(Elfarini, 2007).
Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan
auditor dikatakan
berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar
pengendalian mutu.
Menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003:25)
mendefinisikan kualitas
audit sebagai kemungkinan (probability) dimana auditor akan
menemukan dan
melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi klien.
Adapun kemampuan untuk
menemukan salah saji yang material dalam laporan
keuangan perusahaan
tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk
melaporkan temuan salah
saji tersebut tergantung pada independensinya.
AAA Financial
Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002)
menyatakan bahwa
“Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian)
dan independensi. Kedua
hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Lebih lanjut, persepsi
pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi
dari persepsi mereka
atas independensi dan keahlian auditor“.
Dari pengertian tentang
kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kualitas audit
merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat
mengaudit laporan
keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam
sistem akuntansi klien
dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana
dalam melaksanakan
tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan
kode etik akuntan
publik yang relevan.
Sehingga berdasarkan
definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut oleh
pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang
kewajaran pelaporan keuangan
yang disajikan oleh manajemen perusahaan dan untuk
menjalankan
kewajibannya ada 3 komponen yang harus dimiliki oleh auditor yaitu
kompetensi (keahlian),
independensi dan due professional care. Tetapi dalam
menjalankan fungsinya,
auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan
manajemen perusahaan.
Manajemen ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak
berhasil, salah satunya
tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk
menciptakan
penghargaan.
Sedangkan hasil
penelitian Behn et. al dalam (Simposium Nasional
Akuntansi V, 2002:563)
menunjukkan 6 atribut kualitas audit (dari 12 atribut) yang
berpengaruh secara
signifikan terhadap kepuasan klien, yaitu: pengalaman melakukan
audit, memahami
industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar
umum, keterlibatan
pimpinan KAP, dan keterlibatan komite audit.
Berdasarkan penelitian
terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit
ditentukan oleh dua hal
yaitu kompetensi dan independensi. Kompetensi berkaitan
dengan pengetahuan dan
pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam
bidang auditing dan
akuntansi. Sedangkan independensi merupakan salah satu
komponen etika yang
harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan
publik tidak mudah
dipengaruhi, tidak memihak kepentingan siapapun serta jujur
kepada semua pihak yang
meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik.
Berdasarkan hal tersebut
maka dalam penelitian ini akan meneliti pengaruh kompetensi
dan independensi
terhadap kualitas audit. Dimana kompetensi diproksikan pada 2 (dua)
sub variabel yaitu
pengetahuan dan pengalaman, sedangkan independensi diproksikan
dalam 4 (empat) sub variabel
yakni lama hubungan dengan klien, tekanan dari klien,
telaah dari rekan audit
dan jasa non audit.
Kerangka
Pemikiran
Salah satu fungsi dari
akuntan publik adalah menghasilkan informasi yang akurat dan
dapat dipercaya untuk
pengambilan keputusan. Namun adanya konflik kepentingan
antara pihak internal
dan eksternal perusahaan, menuntut akuntan publik untuk
menghasilkan laporan
auditan yang berkualitas yang dapat digunakan oleh pihak-pihak
tersebut. Selain itu
dengan menjamurnya skandal keuangan baik domestik maupun
manca negara, sebagian
besar bertolak dari laporan keuangan yang pernah
dipublikasikan oleh
perusahaan. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan tentang
bagaimana kualitas
audit yang dihasilkan oleh akuntan publik dalam mengaudit laporan
keuangan klien
(Elfarini, 2007).
Berbagai penelitian
tentang kualitas audit yang pernah dilakukan menghasilkan
temuan yang berbeda
mengenai faktor pembentuk kualitas audit. Namun secara umum
menyimpulkan bahwa
untuk menghasilkan audit yang berkualitas, seorang akuntan
publik yang bekerja
dalam suatu tim audit dituntut untuk memiliki kompetensi yang
cukup dan independensi
yang baik (Elfarini, 2007).
De Angelo (1981)
menyatakan kualitas audit merupakan probabilitas bahwa
auditor akan menemukan
dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien.
Sedangkan probabilitas
untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan
teknis auditor, dan
probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi
auditor (Deis dan
Giroux, 1992 dalam Batubara, 2008).
Salah satu model
kualitas audit yang dikembangkan adalah model
De Angelo (1981).
Dimana fokusnya ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu
kompetensi dan
independensi. Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman
dan pengetahuan.
Sedangkan independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan
klien (audit tenure),
tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa
nonaudit (Elfarini,
2007).
Lee dan Stone (1995)
mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang cukup
yang secara eksplisit
dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif.
Sedangkan independensi
menurut Christiawan (2002) berarti akuntan publik tidak
mudah dipengaruhi.
Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun.
Akuntan publik
berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga
kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan
atas pekerjaan akuntan
publik (Elfarini, 2007).
Sumber : Lauw Tjun Tjun
Dosen Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
(Jl. Prof. Drg. Suria
Sumantri No. 65, Bandung)
Elyzabet Indrawati
Marpaung
Dosen Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
(Jl. Prof. Drg. Suria
Sumantri No. 65, Bandung)
Santy Setiawan
Dosen Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
(Jl. Prof. Drg. Suria
Sumantri No. 65, Bandung).
1 Mei 2012. Pengaruh
Kompetensi dan Independensi Auditor
Terhadap Kualitas
Audit.
file:///C:/Users/Azzure/Downloads/446-1129-1-SM.pdf
1. Latar
Belakang Masalah
Agustian
Dionisius Amat (2009) menyatakan bahwa akuntan merupakan profesi yang dalam
pelaksanaannya selalu didasarkan pada prinsip-prinsip etika. Sejalan dengan
tuntutan perkembangan lingkungan bisnis berbagai perbaikan dan penyempurnaan
Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)
maupun kode etik akuntan Indonesia terus dilakukan.
Hery dan
Agustiny Merrina (2007) menyatakan bahwa peranan
auditor sangat dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha. Para auditor wajib
memahami pelaksanaan etika yang berlaku dalam menjalankan profesinya tersebut.
Auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit
yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yang terdiri dari standar
umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan guna menunjang
profesionalisme.
Fenomena yang terjadi dengan adanya izin
usaha KAP dicabut itu karena auditor atau KAP yang bersangkutan belum memenuhi
Standar Auditing (SA), Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) atas laporan
keuangan klien, dan tidak mampu menyampaikannya laporan tahunan KAP tahun
takwin (http://www.ortax.org/ortag/?mod=aturan&page=show&id=761). Dan
juga beberapa fenomena kenapa KAP tutup, karena kebanyakan ia telah melanggar
kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan
untuk dilanggar. Mungkin saja pelanggaran tersebut awalnya mendatangkan keuntungan, tetapi akhirnya dapat menjatuhkan
kredibilitas bahkan menghancurkan (http://uwiiii.wordpress.com/ KASUS ENRON dan KAP ARTHUR NDERSON <<Uwiiii’s
Blog.htm). Hery dan
Agustiny Merrina (2007), juga menyatakan bahwa
ada empat elemen penting yang harus dimiliki oleh akuntan yaitu keahlian dan
pemahaman tentang standar akuntansi atau standar penyusunan laporan keuangan,
standar pemeriksaan/auditing, etika profesi dan pemahaman terhadap lingkungan
bisnis yang diaudit. Persyaratan utama yang harus dimiliki oleh auditor adalah
wajib memegang teguh aturan etika profesi yang berlaku.
Robert Sack
(dalam buku Kieso, Weygandt dan Warfield, (2002 : 212) menyatakan bahwa
peraturan etika untuk para akuntan tampaknya kompleks karena mempertahankan
independensi dalam dunia bisnis dewasa ini juga kompleks. Dan salah satu bidang
yang paling mendapat perhatian adalah persyaratan bahwa auditor tidak boleh
mempunyai kepentingan keuangan dalam perusahaan kliennya.
Arleen
Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto (2008), menjelaskan bahwa seorang akuntan
publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata-mata bekerja
untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan
terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari
klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut
untuk memiliki kompetensi yang memadai.
FASB dalam
Statement of Financial Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan
reliabilitas adalah dua kualitas yang mambuat informasi akuntansi berguna untuk
pembuatan keputusan. Untuk mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan
keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada
pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan, yaitu Standart Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di
Indonesia.
IAI sebagai
organisasi profesi akuntan di Indonesia telah berupaya melakukan penegakan
etika profesi yang ditujukan terhadap auditor untuk memberikan kepercayaan
kepada klien atas kinerja yang dilakukan. Pada dasarnya seorang auditor dalam
membuat keputusan pasti menggunakan lebih dari satu pertimbangan rasional yang
didasarkan atas pelaksanaan etika yang berlaku yang dipahaminya dan membuat
suatu keputusan yang adil. Oleh karena itu, diperlukan suatu jasa profesional
yang independen dan obyektif untuk menilai kewajaran laporan keuangan yang
disajikan manajemen. Alasan yang mendasari diperlukannya perilaku profesional
pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas
jasa yang diberikan profesi, terlepas dari yang dilakukan secara perorangan.
Titik Maryani
dan Unti Ludigdo (1999) telah menyatakan bahwa sebagaimana profesi yang lain,
profesi akuntan di Indonesia pada masa yang akan datang menghadapi tantangan
yang semakin berat. Untuk itu persiapan yang berkaitan dengan profesionalisme
profesi mutlak diperlukan. Seseorang akuntan dikatakan profesional apabila memenuhi
tiga syarat, yaitu : berkeahlian (skill),
berpengetahuan dan berkharakter (Machfoedz 1997 dalam ludigdo & Machfoedz
1999).
Sasongko Budi
(2005) mengungkapkan bahwa auditor secara sosial juga bertanggung jawab kepada
masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan
pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Situasi seperti hal
tersebut sangat sering dihadapi oleh auditor. Auditor sering sekali dihadapkan
kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya (Tsui, 1996; Tsui
dan Gul, 1996; Larkin, 2000; Dilliard dan Yuthas, 2000).
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil
subyek auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berada di
Surabaya. Dengan mutu penyajian dan pemeriksaan atas kewajaran suatu laporan
keuangan ditinjau dari kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang lazim,
auditor harus mampu memberikan laporan auditan yang baik dan berkualitas,
selain itu juga auditor dituntut untuk dapat menerapkan etika dan
profesionalisme dalam menjalankan aktivitasnya. Maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan mengambil judul : “Pengaruh Etika Profesi Auditor dalam Pengambilan Keputusan”.
2. Perumusan Masalah
Auditor wajib
menjaga peran profesi akuntan saat ini dan meningkatkan kepercayaan pihak lain
terhadap profesi akuntan dan jasa yang diberikan auditor, hal tersebut
merupakan peranan penting dalam kepatuhan terhadap kode etik. Permasalahan yang
hendak diteliti adalah : Apakah terdapat pengaruh etika profesi auditor dalam
pengambilan kepututusan?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari
penelitian yang akan dilakukan adalah : Untuk meneliti pengaruh etika profesi
auditor dalam pengambilan keputusan.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian
yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti
dan juga bagi wacana pengembangan keilmuan yang menjadi objek dalam penelitian
ini. Adapun manfaatnya adalah :
1. Bagi
Auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan dan informasi terhadap peningkatan etika profesi auditor dalam
pengambilan keputusan untuk menghasilkan laporan keuangan auditan yang
berkualitas dan bermanfaat guna meyakinkan klien dan pemakai laporan keuangan
akan kualitas audit dan jasa yang telah diberikan. Serta dorongan kuat bagi KAP
untuk bertindak secara profesional dalam pengambilan keputusan.
2. Bagi
penulis
Hasil penelitian ini
dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai pengaruh etika profesi auditor
dalam pengambilan keputusan.
3. Bagi
penulis selanjutnya
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan referensi bagi penelitian
berikutnya yang memilih topik yang sama sebagai bahan penelitian.
5. Metode Penelitian
5. Metode Penelitian
a). Identifikasi Variabel
Terdapat dua jenis
variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel independen (X) yang dipergunakan dalam penelitian ini
merupakan Pelaksanaan Etika Profesi yang meliputi sub Variabel diantaranya :
Independensi, Integritas, Obyektivitas, Standar Umum,
Prinsip Akuntansi, Tanggung Jawab
kepada Klien, Tanggung Jawab kepada
Rekan Seprofesi, Tanggung Jawab
dan Praktik Lain. sedangkan variabel dependen
(Y) yang dipergunakan dalam
penelitian ini merupakan Pengambilan Keputusan
Auditor dalam Kantor Akuntan
Publik (KAP).
b). Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam
penelitian ini adalah auditor pada KAP yang berada di Surabaya. Sampel dalam
penelitian ini adalah auditor yang memiliki masa kerja minimal selama 1 tahun
atau lebih, memiliki pengalaman dalam mengaudit laporan keuangan dan bekerja di
KAP Surabaya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah convenience sampling untuk
setiap anggota populasi yang digunakan sebagai sampel.
c). Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data Primer adalah data yang
diperoleh langsung dari penyebaran kuesioner kepada responden, yaitu para
auditor yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun atau lebih dan memiliki
pengalaman dalam mengaudit. Metode pengumpulan data yang dipakai pada
penelitian ini adalah metode survei dengan penyebaran kuesioner pada auditor
yang bekerja di KAP Surabaya. Adapun teknik
pengumpulan datanya melalui butir-butir pertanyaan yang
diajukan secara tertulis dengan responden atau memperoleh informasi berdasarkan
sikap, pengetahuan dan pengalaman atau persepsi auditor.
d). Teknik Analisis
Tahap-tahap pengujiannya dilakukan sebagai berikut :
a.
Melakukan Uji Validitas, Uji Reliabitas, Uji Normalitas
b.
Merumuskan Analisis Regresi Linier Berganda
c.
Melakukan Uji Hipotesis Uji F, Koefisien Determinasi
dan Uji t
d.
Penentuan Tingkat Signifikasi
Tingkat signifikasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 0,05.
e.
Penentuan Penerimaan dan Penolakan :
Kriteria pengambilan kesimpulan yang digunakan adalah :
Kriteria pengambilan kesimpulan yang digunakan adalah :
1.
Ho ditolak jika : Prob < 0,05
2.
Ho diterima jika
: Prob ≥ 0,05
f.
Melakukan Interpretasi Data
g.
Melakukan Pembahasan dan Mengambil Keputusan.
6. Ringkasan Hasil Penelitian
Variabel Penelitian
|
Signifikansi dengan menggunakan Analisis
Regresi Linier Berganda
|
Ket.
|
Independensi
|
0.654
|
Tdk Sig.
|
Integritas
|
0.407
|
Tdk Sig.
|
Objektivitas
|
0.605
|
Tdk Sig.
|
Standar Umum
|
0.622
|
Tdk Sig.
|
Prinsip Akuntansi
|
0.599
|
Tdk Sig.
|
Tanggung Jawab Kepada Klien
|
0.457
|
Tdk Sig.
|
Tanggung Jawab Kepada Rekan Seprofesi
|
0.490
|
Tdk Sig.
|
Tanggung Jawab & Praktek Lain
|
0.092
|
Tdk Sig.
|
7. Pembahasan
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa secara
model maupun parsial sub variabel dari etika profesi yang diantaranya
(independensi, integritas, objektivitas, standar umum, prinsip akuntansi,
tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, tanggung
jawab & praktek lain) terbukti bahwa secara signifikan tidak ada pengaruh
terhadap pengambilan keputusan auditor. Dari semua variabel yang telah di uji
berada pada titik penerimaan H0. Hal ini artinya bahwa tidak ada pengaruh yang
signifikan terhadap etika profesi auditor dalam pengambilan keputusan. Ini
terjadi karena akuntan seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang
menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta
untuk tetap independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka
tergantung kepada klien karena fee
yang
diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada dalam
situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak
sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit. Konflik audit
ini akan berkembang menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan
membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan integritasnya
dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi atau tekanan di sisi lainnya. Auditor
secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada
mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan
ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi
oleh auditor.
Jadi, auditor seringkali
dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya. (http://brightvisionz.blogspot.com/2010/03/wacanapelajar-auditor-dilema-etika.html).
Pada penelitian ini
peneliti menyebarkan kuesioner ke Kantor Akuntan Publik sebagai responden,
namun jawaban yang diperoleh lebih banyak dari auditor yunior dengan masa kerja
1 sampai 2 tahun. Dari hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak
konsisten, karena bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya yang hasilnya
berpengaruh secara signifikan. Hal ini diduga karena dalam menjawab kuesioner
lebih banyak dijawab oleh auditor yunior daripada auditor senior, selain itu
juga di mungkinkan seorang responden menjawab sesuai dengan kenyataan selama
dia mengaudit dan juga karena dalam pengisian kuesioner tidak dipandu secara
langsung oleh peneliti sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan.
1). Pengaruh independensi terhadap pengambilan keputusan auditor.
Independensi
menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu
mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional
sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan
oleh IAI. Skap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam
fakta (in fact) maupun dalam
penampilan (in appearance). Jika
auditor memiliki sikap independensi maka auditor mampu mengungkapkan fakta apa
adanya dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan independensi tidak memiliki pengaruh
terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa independensi tidak
berpengaruh signifikan positif terhadap pengambilan keputusan auditor. Hal ini
diduga independensi merupakan sikap yang belum bisa diterapkan sepenuhnya dalam
pengambilan keputusan auditor, dimana auditor yang akan mengungkapkan semua
temuannya, namun auditor hanya
mengungkapkan atas apa yang diminta oleh klien, terkait jasa yang diberikan
kepada auditor.
2). Pengaruh integritas terhadap pengambilan keputusan auditor.
Integritas adalah
suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional serta
merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan
(benchmark) bagi auditor dalam menguji semua keputusan yang diambilnya dan
mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Integritas dapat menerima kesalahan
yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat
menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan integritas tidak
memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan
bahwa integritas tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pengambilan
keputusan auditor. Hal ini diduga integritas masih belum bisa untuk diterapkan,
mungkin itu terkait dengan pribadi auditor itu sendiri untuk bersikap jujur dan
berterus terang atas keputusan apa yang diambil terkait kepentingan manajemen
klien.
3). Pengaruh objektivitas terhadap
pengambilan keputusan auditor.
Objektivitas adalah suatu kualitas yang
memberikan nilai atas jasa yang diberikan, dimana mengharuskan auditor bersikap
adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias,
serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pihak lain.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan bahwa
objektivitas tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan
keputusan. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan
Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa objektivitas tidak berpengaruh
signifikan positif terhadap pengambilan keputusan auditor. Hal ini diduga
karena auditor dihadapkan pada situasi yang memungkinkan mereka menerima
tekanan-tekanan yang diberikan manajemen kepadanya dan auditor merasa belum
belum bebas dari benturan kepentingan atau masih berada dibawah pihak lain.
4). Pengaruh standar umum terhadap pengambilan keputusan.
Standar umum adalah suatu kepatuhan auditor
yang harus mampu
berkompetetensi
profesional, cermat dan keseksamaan profesional, perencanaan dan supervisi,
serta menghasilkan data yang relevan dan memadai. Dimana anggota hanya boleh
memberikan jasa profesionalnya secara layak, memberikan jasa profesional dengan
kecermatan dan keseksamaan profesional, merencanakan dan mensupervisi secara
memadai setiap pelaksanaan pemberian jasa profesional, serta wajib memperoleh
data relevan yang memadai untuk menjadi dasar yang layak bagi simpulan atau
rekomendasi sehubungan dengan pelaksanaan jasa profesionalnya.
Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa standar umum tidak memiliki
pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan
bahwa standar umum mempengaruhi
pengambilan keputusan auditor yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini diduga
auditor atau KAP kurang mematuhi adanya satandar yang dikeluarkan oleh badan
pengatur satandar yang ditetapkan IAI, sehingga tidak sesuai dengan isi
pernyataan standar umum dalam SPAP.
5). Pengaruh prinsip akuntansi terhadap
pengambilan keputusan auditor.
Prinsip akuntansi ini dimana anggota KAP tidak
diperkenankan menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan
atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku secara umum, serta tidak
menemukan perlunya modifikasi material yang harus dilakukan terhadap laporan
atau data tersebut agar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan bahwa prinsip akuntansi tidak memiliki pengaruh terhadap
pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan bahwa prinsip akuntansi
mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini diduga auditor menyesuaikan dengan keadaan laporan keuangan perusahaan
dan memenuhi adanya permintaan klien dalam mengungkapkan suatu temuan..
6). Pengaruh tanggung jawab kepada klien terhadap pengambilan keputusan.
Tanggung jawab disini
mengharapkan anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang
rahasia, tanpa persetujuan dari klien, mendapatkan klien dengan cara menawarkan
fee yang dapat merusak citra profesi
akuntan, serta menetapkan fee
kontinjen apabila penetapan tersebut dapat mengurangi independensi.
Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tanggung jawab kepada klien tidak
memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny (2007) yang menyatakan
bahwa tanggung jawab kepada klien mempengaruhi pengambilan keputusan auditor
yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini diduga karena meski seorang
auditor atau KAP tidak mengungkapkan informasi rahasia klien tapi dimungkinkan
adanya KAP yang masih mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang sebenarnya itu dapat merusak
citra profesi atu menetapkan fee
kontinjen yang dapat mengurangi independensi.
7). Pengaruh tanggung jawab kepada rekan seprofesi terhadap pengambilan keputusan.
Dalam hal penugasan
audit dari klien yang baru, penting bagi auditor penerus untuk berkomunikasi
dengan auditor terdahulu untuk mendapatkan informasi terutama mengenai
integritas moral dari manajemen klien yang baru tersebut. Dengan adanya
komunikasi tersebut diharapkan auditor penerus dapat melakukan auditnya dengan
lebih baik dan tetap menjaga citra profesional akuntan publik secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tanggung jawab kepada rekan
seprofesi tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan Merrina Agustiny
(2007) yang menyatakan bahwa tanggung jawab kepada klien yang cenderung
mempengaruhi pengambilan keputusan auditor yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini diduga dimungkinkan adanya manajemen klien yang berusaha membeli opini
dari auditor, sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik dengan kantor akuntan
publik yang melakukan audit atas kliennya.
8). Pengaruh tanggung jawab & praktek lain terhadap pengambilan keputusan
Dimana anggota tidak
diperkenankan melakukan tindakan dan/atau mengucap perkataan yang mencemarkan
profesi, mencari klien melalui pemasangan iklan, melakukan promosi pemasaran
dan anggota hanya dapat berpraktik dalam bentuk organisasi yang diijinkan oleh
peraturan perundangundagan yang berlaku dan/atau yang tidak menyesatkan dan
merendahkan citra profesi, memberikan/menerima komisi apabila
pemberian/penerimaan komisi tersebut dapat mengurangi independensi.
Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tanggung jawab kepada rekan
seprofesi tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hery dan
Merrina Agustiny (2007) yang
menyatakan bahwa tanggung jawab kepada klien yang mempengaruhi pengambilan
keputusan auditor yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini karena dalam penawaran harga
untuk biaya jasa audit merupakan hal yang biasa dan cenderung kompetitif.
Seringkali terjadi persaingan harga antara sesama KAP yang pada akhirnya audit
tidak dapat dilakukan secara maksimal (mutu audit berkurang), mengingat
ketidaksesuaian antara fee audit yang
diterima (terlalu kecil) dengan luasnya scope
pemeriksaan yang harus dilakukan. Persaingan harga ini diyakini dapat
menyesatkan pemberian opini audit apabila mengingat sifat pengumpulan bahan
bukti audit yang kurang memadai.
Jadi secara keseluruhan penelitian ini berbeda
dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa etika profesi (independensi,
integritas, objektivitas, standar umum, prinsip akuntansi, tanggung jawab
kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, tanggung jawab &
praktek lain) mempengaruhi pengambilan keputusan auditor. Fakta empiris saat
ini menunjukkan bahwa etika profesi (independensi, integritas, objektivitas,
standar umum, prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada
rekan seprofesi, tanggung jawab & praktek lain) tidak berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan auditor. Ini terjadi karena permasalahan etika
profesi yang kurang didukung oleh
penerapan Kode Etik IAI dalam menjalankan profesinya, sehingga apa yang
diharapkan tidak menghasilkan sesuatu yang maksimal. Faktor lain yang mungkin
menyebabkan faktor ini tidak signifikan adalah lembaga profesi seperti IAI
kurang mengakar pada system kebanyakan akuntan publik, sehingga aturan-aturan
yang ditetapkan maupun etika yang ditegakkan menjadi kurang komunikatif dan
tidak maksimal untuk diterapkan.
Sumber :
PENGESAHAN RANGKUMAN SKRIPSI
Nama : Yeni Indra Mayeni. 2011. Pengaruh
Etika Profesi Auditor Dalam Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas. Surabaya
PENGARUH KODE ETIK PROFESI AKUNTAN
PUBLIK
TERHADAP KUALITAS AUDIT AUDITOR
INDEPENDEN DI SURABAYA
PENDAHULUAN
Perkembangan
perekonomian saat ini mengarah pada globalisasi, dengan
kebebasan
persaingan usaha di antma negara-negara di dunia. Pengaruh
globalisasi
tersebut membawa dampak bagi banyak hal, tidak terkecuali bagi jasa
audit
dan profesi auditor independen atau akuntan publik di Indonesia. Adanya
kebutuhan
akan laporan keuangan yang memadai dan dapat
dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat, membawa banyak perusahaan
tergantung
pada jasa audit yang ditawarkan oleh auditor independen. Oleh karena
itu,
demi menjaga kepercayaan masyarakat, auditor independen selayaknya
memberikanjasa
dengan kualitas terbaik.
Kualitas
audit diartikan sebagai probabilitas seorang auditor dalam
menentukan
dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien
(Deangelo, 2004; dalam Nataline, :W07). Semakin tinggi kualitas audit dapat
dihasilkan
oleh auditor independen, maka semakin tinggi pula kepercayaan para
pemakai
informasi untuk menggunakan laporan keuangan. Kualitas audit ini
penting
karena dengan kualitas audit yang tinggi, maka akan dihasilkan laporan
keuangan
yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan (Elfarini,
2007).
Kualitas audit dipengaruhi sikap auditor independen dalam menerapkan
Kode
Etik Profesi Akuntan Publik. Kode Etik ini menetapkan prinsip dasar dan
aturan
etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor
akuntan
publik (KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan
Akuntan
Publik Indonesia (lAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI,
yang
memberikan jasa profesional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain
assurance
seperti yang tercantum dalam ~;tandar profesi dan kode etik profesi
(lAPI,
2007-2008:3). Dengan adanya Kode Etik Profesi Akuntan Publik,
masyarakat
akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor independen telah
bekerja
sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.
Kualitas Audit
Adanya
kebutuhan akan laporan keuangan yang memadai dan dapat
dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat, membawa banyak perusahaan
tergantung
pada jasa audit yang ditawarkan oleh auditor independen. Dengan
didorong
oleh banyaknya skandal keuangan yang teJjadi di dunia, auditor
independen
harus lebih bekeJja keras dalam melaksanakan tugasnya. Demi
menjaga
kepercayaan masyarakat, auditor independen selayaknya memberikan
jasa
dengan kualitas terbaik.
Kualitas
audit diartikan seb2.gai probabilitas seorang auditor dalam
menentukan
dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien
(Deangelo, 2004; dalam Nataline, 2007). Nataline (2007) menyimpulkan
bahwa
kualitas audit adalah gabungan probabilitas seorang auditor untuk dapat
menemukan
dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien
di mana audit ini diproksi berdasarkan reputasi dan banyaknya klien yang
dimiliki
KAP. Menurut Elfarini (2007):
"Kualitas
audit merupakan kemungkinan (probability) di mana
auditor
pada saat mengaudit iaporan keuangan klien dapat
menemukan
peianggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien
dan
melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, di mana daiam
melaksanakan
tugasnya terse but auditor berpedoman pada standar
auditing
dan kode etik akuntan publik yang rei evan."
Terdapat
dua belas atribut kualitas audit menurut Behn (2002, dalam Nataline
2007)
yaitu:
a. Pengalaman melakukan audit (client experience)
Pengalaman
merupakan atribut yang penting yang harus dimiliki oleh auditor.
Hal
ini terbukti dengan tingkat kesalahE,n yang dibuat oleh auditor yang tidak
berpengalaman
lebih banyak daripada auditor berpengalaman.
b. Memahami industri klien (industry expertise)
Auditor
juga harus mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhi industri
tempat
operasi suatu usaha seperti kondisi ekonomi, peraturan pemerintah
serta
perubahan teknologi yang berpengaruh terhadap auditnya.
c. Responsif atas kebutuhan klien
(responsiveness)
Atribut
yang membuat klien memutuskan pilihannya terhadap suatu KAP
adalah
kesungguhan KAP tersebut memperhatikan kebutuhan kliennya.
d. Taat pada standar umum (technical competence)
Kredibilitas
auditor tergantung kepada kemungkinan auditor mendeteksi
kesalahan
yang material dan kesalahan penyajian serta kemungkinan auditor
akan
melaporkan apa yang ditemukannya. Kedua hal terse but mencerminkan
terlaksananya
stan dar urnum.
e. Independensi (independence)
Independensi
adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk
tidak
mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang
bertentangan
dengan prinsip integritas dan objektivitas. Bersikap independen
artinya
tidak mudah dipengaruhi.
f. Sikap hati-hati (due care)
Auditor
yang bekerja dengan sikap kehati-hatian akan bekerja dengan cermat
dan
teliti sehingga menghasilkan audit yang baik, dapat mendeteksi dan
melaporkan
kekeliruan serta ketidakben~san.
g. Komitmen yang kuat terhadap kualitas audit
(quality commitment)
IAI
sebagai induk organisasi akuntan publik di Indonesia mewajibkan para
anggotanya
untuk mengikuti program pendidikan profesi berkelanjutan dan
untuk
menjadi anggota baru harus mengikuti program profesi akuntan (PPA)
agar
kerja auditnya berkualitas hal ini menunjukkan komitmen yang kuat dari
IAI
dan para anggotanya.
h. Keterlibatan pimpinan KAP
Pemimpin
yang baik perlu menjadi .ocal point yang mampu memberikan
perspektif
dan visi luas atas kegiatan perbaikan serta mampu memotivasi,
mengakui
dan menghargai upaya dan pre stasi perorangan maupun kelompok.
i. Melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat
(field work conduct)
Dalam perencanaan audit, auditor harus
mempertimbangkan sifat, luas, dan
saat
pekeIjaan yang harus dilaksanakan dan membuat suatu program audit
secara
tertulis, dengan tepat dan matang akan membuat kepuasan bagi klien.
j. Keterlibatan komite audit
Komite
audit diperlukan dalam suatu organisasi bisnis dikarenakan
mengawasi
proses audit dan memungkinkan terwujudnya kejujuran pelaporan
keuangan.
k. Stan dar etika yang tinggi
(Ethical Standard)
Dalam
usaha untuk meningkatkan akuntabilitasnya, seorang auditor harus
menegakkan
etika profesional yang tinggi agar timbul kepercayaan dari
masyarakat.
l. Tidak mudah percaya
Auditor
tidak boleh menganggap nanajemen sebagai orang yang tidak jujur,
tetapi
juga tidak boleh menganggap bahwa manajer adalah orang yang tidak
diragukan
lagi kejujurannya, adanya sikap tersebut akan memberikan hasil
audit
yang bennutu dan akan memberikan kepuasan bagi klien.
Kode Etik Profesi Akuntan Publik
Pada
dasarnya setiap individu yang rnelakukan pekeIjaan akan
mendapatkan
kepercayaan dari pihak lain agar dapat mendukung kelancaran
pekerjaan
yang ia lakukan. Agar kepercayaan tersebut dapat terus terjaga, maka
setiap
individu berkewajiban untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan
dengan
berbuat dan bertingkah laku sesuai dengan aturan yang ada dan
memperhatikan
kepentingan masyarakat yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Dengan
kata lain, setiap individu harus memiliki etika dalam menjalankan
profesinya.
Ethics
can be defined broadly as a set of moral principles or values (Elder,
Beasley,
dan Arens, 2008:76). Hal ini berarti bahwa etika dapat didefinisikan
secara
luas sebagai seperangkat prinsip moral atau nilai-nilai. Apabila terdapat
aturan
tertulis mengenai prinsip moral atau nilai-nilai tersebut, maka dapat
dikatakan
sebagai kode etik. Kode etik yang mengatur profesi auditor independen
di
Indonesia dikenal dengan nama Kodl~ Etik Profesi Akuntan Publik. IAPI (2007-
2008:3)
menyatakan bahwa:
"Kode
etik ini menetapkan primip dasar dan aturan etika profesi
yang
harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan
publik
(KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota
Ikatan
Akuntan Publik Indonesia (lAPI) maupun yang bukan
merupakan
anggota IAPl, yang memberikan jasa profesional yang
meliputi
jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang
tercantum
dalam standar profesi dan kode etik profesi."
Di
dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik, terdapat empat prinsip dasar
yang
akan dibahas dalam penelitian sekarang yaitu:
a. Prinsip integritas
Menurut
lAPI (2007-2008:6) dikatakan bahwa setiap praktisi harus tegas dan
jujur
dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam
melaksanakan
pekeIjaannya. Setiap anggota harus dapat menjalankan tanggung jawab peketjaan
dengan integritas yang tinggi agar kepercayaan
masyarakat
dapat terus terjaga. Integritas merupakan kualitas yang melandasi
kepercayaan
publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam
menguji
keputusan yang diambilnya (Pratama, 2010).
Integritas
mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap
jujur
dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa
sehingga
laporan yang disajikan itu dapat menjelaskan suatu kebenaran akan
fakta,
karena dengan cara itulah maka masyarakat dapat mengakui
profesionalisme
seorang akuntan (Wurangian, 2005: 13). Seorang auditor
independen
tidak dapat mengambil ktmntungan pribadi di atas kepercayaan
masyarakat.
Dalam pelaksanannya, integritas dapat menerima kesalahan yang
tidak
disengaja dan perbedaan yang jujur, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan
atau peniadaan prinsip.
Integritas
diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Apabila
auditor
independen dihadapkan pada situasi tidak terdapat aturan, standar,
panduan
khusus, atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, ia harus
berpikir
apakah keputusan atau perbuatannya telah seusai dengan integritasnya
sebagai
auditor independen. IAPI (2007-2008) menyatakan bahwa praktisi
tidak
boleh terkait dengan laporan, komunikasi, atau informasi lainnya yang
diyakininya
terdapat kesalahan yang material atau pemyataan yang
menyesatkan,
pemyataan atau informa8i yang diberikan secara tidak hati-hati,
dan
penghilangan atau penyembunyian yang dapat menyesatkan atas
informasi
yang seharusnya diungkapkan.
b. Prinsip objektivitas
Objektivitas
adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan
anggota (Pratama, 2010). S'~tiap praktisi tidak boleh membiarkan
subjektivitas,
benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue
influence)
dari pihak-pihak lain mempengaruhi pertimbangan profesional atau
pertimbangan
bisnisnya (lAPI, 2007-2008:6). Menurut Wurangian (2005),
seorang
akuntan ketika melaksanakan pengauditan harus mampu
menempatkan
dirinya sebaik dan sebebas mungkin sehingga mampu melihat
kenyataan
secara apa adanya dan mampu menilai secara jujur serta
menyajikan
sesuai dengan hasil penilaian terhadap kenyataannya tersebut. Hal
ini
berarti bahwa seorang auditor independen dalam menjalankan objektivitas
harus
dapat melaporkan kesalahan ya:1g dilakukan oleh klien tanpa adanya
pengaruh
dari pihak luar.
IAI
mengatur dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia, bahwa
dalam
menghadapi situasi dan praktk yang secara spesifik berhubungan
dengan
aturan etika sehubungan dengan objektivitas, pertimbangan yang
cukup
harus diberikan terhadap faktor-fitktor berikut:
1)
Bila auditor independen dihadapkan pada situasi yang memungkinkan
mereka
menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya, maka
tekanan
ini dapat menggangu objektivitasnya.
2)
Kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar
untuk
mengidentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat
merusak
objektivitas seseorang.
3)
Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh
lainnya
untuk melanggar objektivitas harus dihindari.
4)
Auditor independen memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orangorang
yang
terlibat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip
objektivitas.
5)
Auditor independen tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau
memberikan
entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh
yang
tidak pantas terhadap pertinbangan profesional mereka atau terhadap
orang-orang
yang berhubungan dengan mereka. Auditor independen harus
menghindari
situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka
temoda.
c. Prinsip kompetensi
Kompetensi
auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan
pengalamannya
yang cukup dan ~ksplisit dapat melakukan audit secara
objektif,
cermat, dan seksama (Elfarini, 2007). Menurut Kamus Kompetensi
LOMA
(1998, dalam Alim, Hap sari, dan Purwanti, 2007) kompetensi
didefinisikan
sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang
memungkinkan
dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini
mencakup
sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan
di
mana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku
akan
menghasilkan kinerja. Susanto (2000, dalam Alim, dkk, 2007) definisi
tentang
kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakterisitik
yang
mendasari individu untuk mencapai kineIja superior. Kompetensi juga
merupakan
pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan
dengan
pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekeIjaanpekeIjaan
non
rutin. Setiap praktlsi wajib memelihara pengetahuan dan
keahlian
profesionalnya pad a suatl tingkatan yang dipersyaratkan secara
berkesinambungan,
sehingga klien Itau pemberi keIja dapat menerima jasa
profesional
yang diberikan secara kompeten berdasarkan perkembangan
terkini
dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan
pekerjaan
(IAPI, 2007-2008:6).
Christiawan
(2002) mengatakan bahwa kompetensi berkaitan dengan
pendidikan
dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam
bidang
aUditing dan akuntansi. Widhi (2006, dalam Elfarini, 2007)
menyatakan
bahwa pengetahuan memiliki pengaruh signifikan terhadap
kualitas
audit. Begitupula Harhinto (2004, dalam Elfarini, 2007) menemukan
bahwa
pengetahuan akan mempengaruhi keahlian audit yang pada gilirannya
akan
menentukan kualitas audit. Adapun menurut Kusharyanti (2003, dalam
Elfarini,
2007), secara umum ada lima pengetahuan yang harus dimiliki oleh
seorang
auditor yaitu pengetahuan pengauditan umum, pengetahuan area
fungsional,
pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru,
pengetahuan
mengenai industri khu:lUS, pengetahuan mengenai bisnis umum
serta
penyelesaian masalah. Untuk area fungsional seperti perpajakan dan
pengauditan
dengan komputer sebagian didapatkan dari pendidikan formal
perguruan
tinggi, sebagian besar dari pelatihan dan pengalaman. Demikian
juga
dengan isu akuntansi, auditor bisa mendapatkannya dari pelatihan profesional
yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan
mengenai
industri khusus dan hal··hal umum kebanyakan diperoleh dari
pelatihan
dan pengalaman.
Auditor
independen dituntutllltuk memiliki kompetensi yang tinggi,
di
mana kompetensi tidak hanya diJengaruhi oleh pengetahuan tetapi juga
pengalaman.
Weber dan Croker (1933, dalam Elfarini, 2007) menunjukkan
bahwa
semakin banyak pengalama:l seseorang, maka hasil pekeIjaannya
semakin
akurat dan lebih banyak mempunyai memori tentang struktur kategori
yang
rumit. Auditor dapat memperoleh pengetahuan dan struktur
pengetahuannya
melalui pengalaman. Auditor yang bepengalaman akan
memiliki
lebih banyak pengetahuan dan struktur memori lebih baik
dibandingkan
auditor yang belum berpengalaman. Harhinto (2004, dalam
Elfarini,
2007) menemukan bahwa pengalaman auditor berhubungan positif
dengan
kualitas audit. Tubbs (1992, c.alam Elfarini, 2007) menyatakan bahwa
auditor
yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal mendeteksi
kesalahan,
memahami kesalahan secara akurat, dan mencari penyebab
kesalahan.
Seorang auditor yang lebh berpengalaman dapat mendefinisikan
kekeliruan-kekeliruan
dengan lebih baik daripada auditor yang kurang
berpengalaman.
Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk
akal
atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat
mengelompokkan
kesalahan berdasarkan pad a tujuan audit dan struktur dari
sistem
akuntansi yang mendasari (Mayangsari, 2003:4, dalam Elfarini,
2007:33).
d. Prinsip perilaku profesional
Setiap
praktisi wajib mematuhi hukurn dan peraturan yang berlaku dan harus
menghindari
semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi (IAPI, 2007-
2008:7).
Hal tersebut berhubungan dengan prinsip perilaku profesional yang
harus
dimiliki auditor independen. P;:ofesionalisme merupakan suatu atribut
individual
yang penting tanpa melihat suatu pekeIjaan merupakan suatu
profesi
atau tidak (Kalbers dan Fogarty, 1995:72, dalam Wahyudi dan
Mardiyah,
2006:4-5). Sebagai profesional, akuntan publik harus berperilaku
yang
terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi dan mengakui
tanggung
jawabnya terhadap masyarakat, klien, dan rekan seprofesi.
IAPI
(2007-2008) mengatakan bahwa dalam memasarkan dan
mempromosikan
diri dan pekeIjaannya, setiap praktisi harus bersikap jujur
dan
tidak boleh bersikap atau melakubn tindakan sebagai berikut :
1)
Membuat pemyataan yang berlebihan mengenai jasa profesional yang
dapat
diberikan, kualifikasi yang dimiliki, atau pengalaman yang telah
diperoleh;
atau
2)
Membuat pemyataan yang merendahkan atau melakukan perbandingan
yang
tidak didukung bukti terhadap hasil pekerjaan praktisi lain.
Menurut
Hall (1968, dalam Fridati, 2005), terdapat lima dimensi
profesionalisme
yaitu:
1)
Pengabdian pada profesi (dedication)
Pengabdian
pada profesi tercermn dalam dedikasi profesional melalui
penggunaan
pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari
penyerahan diri S1!Cara total terhadap pekerjaan_ Pekerjaan
didefinisikan
sebagai tujuan hidup dan bukan sekadar alat untuk mencapai
tujuan_
Penyerahan diri secara total mernpakan komitmen pribadi, dan
sebagai
kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohaniah dan
kemudian
kepuasan material.
2)
Kewajiban sosial (social obligation)
Kewajiban
sosial adalah pandangan tentang pentingnya peran profesi serta
manfaat
yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh profesional
karena
adanya pekerjaan terse but.
3)
Kemandirian (autonomy demands)
Kemandirian
adalah suatu pandangan bahwa seorang profesional harns
mampu
membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak yang lain.
4)
Keyakinan terhadap peraturan profesi (beliefin self-regulation)
Mernpakan
suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai
pekerjaan
profesional adalah reK:an sesama profesi, dan bukan pihak luar
yang
tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan
mereka.
5)
Hubungan dengan sesama profesi (professional community affiliation)
Hubungan
ini berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk
organisasi
formal, dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai
sumber
ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional
membangun
kesadaran profesinya_
Sumber
: Bhinga Primaraharjo & Jesica Handoko. 1 Januari 2011. PENGARUH KODE ETIK
PROFESI AKUNTAN PUBLIK TERHADAP KUALITAS AUDIT AUDITOR INDEPENDEN DI SURABAYA JURNAL
AKUNTANSI KONTEMPORER. VOL 3 NO.1.
file:///C:/Users/Azzure/Downloads/446-1129-1-SM.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar