Sebutir biji bunga matahari
berada di dalam tanah di sebuah taman. Dia mendengar hujan yang turun
dan merasakan kehangatan sinar matahari. Namun dia tidak dapat melihat
tetes-tetes hujan atau sinar matahari. Dia berada di tempat gelap.
"Aku ingin tumbuh," kata biji itu. "Aku ingin tumbuh dan melihat
dunia." Tak lama dia pun tumbuh. Sebuah tunas hijau muncul di permukaan
tanah. Kemudian muncul dua lembar daun hijau. Kini dia dapat melihat
tetes-tetes hujan yang menimpa kedua daunnya dan sinar matahari yang
menghangati dirinya.
Dia menemukan dirinya berada di balik sebuah pagar tembok yang
terbuat dari bata merah. Dia tumbuh setinggi sebuah bata, kemudian
setinggi dua buah bata, tiga buah bata, dan akhirnya dia tumbuh setinggi
sepuluh bata. Namun, puncak pagar tembok belum dilewatinya.
"Aku ingin tumbuh lebih tinggi dari puncak pagar tembok ini," ucapnya penuh harap.
"Aku akan menghangatimu," cetus matahari.
"Aku akan mengairimu," timpal hujan.
"Aku akan meniupmu lembut," tambah angin.
"Aku akan menyegarkanmu," ujar embun.
"Aku akan memberimu makan," kata tanah.
Maka dengan bantuan matahari, hujan, angin, embun dan tanah dia
pun tumbuh lebih tinggi dari tanaman lain di taman itu. Dia lebih tinggi
dari pohon bunga mawar, kembang sepatu, atau bunga melati.
Dia dapat melihat ke luar pagar tembok. Dia kini mempunyai sebuah
bunga besar di ujung tangkainya. Bunganya berbentuk sebuah lingkaran
berwarna kuning. Seperti matahari yang sedang memancarkan sinarnya.
Indah sekali.
Beberapa anak yang tinggal di dekat taman datang melihatnya. Mereka mengajak ayah, ibu, dan teman-teman mereka.
"Bunga matahari ini sungguh indah," kata mereka. "Dia lebih
tinggi dari kita, ayah ibu kita, atau pagar tembok kita. Dia pasti bunga
matahari tertinggi di dunia. Sungguh luar biasa!"
Ayah anak-anak itu memotretnya.
Ketika musim gugur tiba, bunga matahari dan daunnya mulai memucat
dan layu. Dia merasa takut dan cemas dengan apa yang terjadi pada
dirinya.
Seorang tukang kebun tua datang. Wajahnya telah berkeriput. Ia mengenakan sepatu berdebu.
"Jangan takut, hai bunga matahari," katanya. "Aku akan
mengumpulkan biji-bijimu. Tahun depan aku akan menanam mereka di
sepanjang pagar tembok ini. Mereka akan tumbuh tinggi dan kuat seperti
dirimu dulu."
Bunga matahari merasa senang. Karena dia akan mempunyai anak-anak
yang kelak seperti dirinya. Dia membiarkan si tukang kebun mengumpulkan
biji-bijinya untuk ditanam tahun depan.
"Kini aku ingin beristirahat panjang," katanya. "Kurasa itu perlu sekali setelah kesibukanku selama musim panas ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar